Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menjadi Relawan Memang Tidak Digaji, tapi Berarti

23 Februari 2022   21:04 Diperbarui: 25 Februari 2022   20:47 2544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memberi pelatihan kepada warga | Dokumentasi pribadi

Bayangkan Anda adalah "veteran" tanpa medali jasa. Kembali ke tanah kelahiran untuk melayani---lebih tepatnya menjadi pekerja sosial karena tetap mendapat gaji meski kecil. 

Tak lama, Anda diberhentikan dan menganggur. Sudah melamar ke banyak lembaga di berbagai kota, tak satu pun mau menerima. Rekam jasa Anda tak dilirik. Bagaimana perasaanmu?

***

Perlu setidaknya seminggu untuk aku bisa dekat dan nyambung dengan mereka, anak-anak mungil nan lugu itu. Tak terasa, tiga bulan melompat begitu saja. Hari-hari bermain dan belajar bersama mereka mengkristal jadi kenangan. Aku, pernah berbagi dengan mereka. Lebih tepatnya, mereka pernah mengajariku tentang kehidupan.

Tiga bulan sebelumnya...
Pekerjaanku di lembaga sosial telah selesai. Setelahnya, tiga bulan pula aku menyandang gelar jobless. Kenapa tak mencoba melamar pekerjaan? Sudah. Barang kali kurang jauh. Menyerah? Itu bukan isi kamusku. Gelar di belakang nama kadang menghalangi untuk bekerja serabutan. Eman.

September 2019. Ternyata, jeda tiga bulan itu dipakai Tuhan untuk mempersiapkanku pada fase hidup berikutnya. Oleh mentorku, aku ditawarkan menjadi relawan di luar pulau, sebagai relawan pengajar. Di daerah bekas gempa, di Lombok. Wah, Lombok...!! Aku berada di persimpangan, dan harus mengambil langkah.

Ini kesempatan mengabdi di pendidikan dan menjejakkan kaki di luar rumah. Kelak setelah menikah, belum tentu datang kesempatan serupa. Tapi, jika aku pergi bakal berpisah dengan pacar tak hanya beda kota, tapi lain pulau. Selama tiga bulan pula. Pada saat bersamaan, selama itu aku tidak akan punya pemasukan.

Setelah berpikir, merenung, mendoakan, dan menceritakan pada orangtua, aku memilih berangkat. Pacarku kuberitahu setelah aku mengambil keputusan, hehe. Akibatnya, kami sempat berantem kecil.

Di lembaga non-pemerintah yang aku ikuti, menjadi relawan saja ada wawancara dan perlu menyertakan CV. Wah, canggih. Seperti melamar pekerjaan. Dari situ, aku tahu lembaga ini tidak sembarangan merekrut relawan. Selama tiga bulan menjadi relawan di Lombok inilah aku belajar tiga hal.

Revolusi mental: dari anak rumahan jadi anak petualang

Aku tipe anak rumahan. Dari lahir sampai lulus kuliah bernaung di bawah "ketiak" orangtua. Hal ini membuatku tak tahu dunia luar. Mentalku juga kurang tangguh ketika menghadapi tantangan.

Aku pernah merantau menjadi guru di Surabaya, tapi hanya sekitar 1,5 tahun. Masih kurang pengalamannya. Tahu sedikit rasanya mandiri, tinggal jauh dari orangtua.

Dengan menjadi relawan, mentalku lebih terbentuk. Dari anak rumahan, jadi anak petualang. Petualangannya berupa berinteraksi dengan warga Sasak, suku asli Pulau Lombok yang tak pernah kukenal sebelumnya. Harus berhadapan dengan budaya, bahasa, karakter dan kebiasaan yang berbeda.

Pengalaman lainnya, aku bertambah kenalan sesama relawan dari Jawa. Tidak hanya berinteraksi dengan warga, memakai pendekatan yang tepat untuk mengajar anak-anak, menikmati pemandangan pantai, mencoba kuliner sekitar hingga menjelajahi daerah wisata yang tenar di mancanegara.

Mengunjungi tempat populer di Lombok, Gili Trawangan | Dokumentasi pribadi
Mengunjungi tempat populer di Lombok, Gili Trawangan | Dokumentasi pribadi

Lombok, pantainya menawan | Dokumentasi pribadi
Lombok, pantainya menawan | Dokumentasi pribadi

Mengasihi dengan datang mengunjungi

Kasih yang tulus diwujudkan dalam tindakan. Ingin memberi donasi, wong pekerjaan saja tak punya. Tapi aku masih punya waktu dan tenaga. Maka itulah yang kuberikan.

Komposisi yang membuatku memutuskan jadi relawan: belum ada pekerjaan, ingin mendapat pengalaman, dan berbagi khususnya dalam pendidikan.

Warga Sasak senang dikunjungi para relawan | Dokumentasi pribadi
Warga Sasak senang dikunjungi para relawan | Dokumentasi pribadi

Transportasi, akomodasi, dan asuransi ditanggung penyelenggara program. Ketika awal tiba di lokasi, aku tercengang dengan beberapa kesaksian warga. "Baru kali ini ada orang dari luar Lombok yang mengunjungi kami. Ini namanya Indonesia. Kalau tidak gempa, kami takkan dikunjungi. Kami senang dikunjungi," begitu kira-kira luapan hati mereka.

Meski kecil, tapi berarti

Selama ini aku merasa diriku kecil dan "kecil". Ya kecil perawakannya, kecil pula atributnya. Ada bibit minder dalam diriku. Tidak bisa menjadi berkat untuk orang lain. Apa yang mau dibagikan?

Tapi, aku mulai berubah. Ternyata dengan menjadi relawan ada sesuatu yang bisa aku bagikan. Yakni waktu untuk belajar, bermain, dan mengobrol-menghibur anak-anak dan warga Sasak.

Aku dan temanku juga berkesempatan melakukan trauma healing kepada warga melalui beberapa pelatihan. Yang pertama, membuat tas rajut dari tali koor, bekerja sama dengan relawan lokal. Target pesertanya adalah para ibu.

Harapannya, jika mereka mengembangkan keterampilan ini, ada barang kerajinan yang bisa dihasilkan. Jika dipromosikan sebagai oleh-oleh, nantinya bisa menambah pemasukan. Apalagi jika datang wisatawan mancanegara, biasanya suka membeli produk lokal.

Memberi pelatihan kepada warga | Dokumentasi pribadi
Memberi pelatihan kepada warga | Dokumentasi pribadi

Yang kedua, mengolah biji mete. Daerah Kabupaten Lombok Utara adalah penghasil bahan pangan, salah satunya biji mete. Di toko-toko, biji mete sangat mahal harganya. Lucunya, di salah satu desa yang kami kunjungi warganya bahkan tak tahu rasanya biji mete. Ironis. Sebabnya, mereka menjual mentah begitu saja pada tengkulak. Tak tahu (dan tak mau) cara mengolahnya.

Bersama rekan relawan, kami membelikan alat pengupas biji mete. Kami ajari cara mengupas (padahal kami pun tak tahu caranya sebelumnya), cara memasak, pengemasan hingga pemasaran. 

Kami gorengkan sedikit biji mete yang sudah mereka kupas, memintanya untuk mencicip. Waktu kami tanya bagaimana rasanya? "Enak." Wah, lha selama ini ngapain aja?

Begitulah, ternyata banyak pelajaran dengan menjadi relawan. Biar kecil dan tak digaji, tapi berarti. --KRAISWAN 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun