Aku tipe anak rumahan. Dari lahir sampai lulus kuliah bernaung di bawah "ketiak" orangtua. Hal ini membuatku tak tahu dunia luar. Mentalku juga kurang tangguh ketika menghadapi tantangan.
Aku pernah merantau menjadi guru di Surabaya, tapi hanya sekitar 1,5 tahun. Masih kurang pengalamannya. Tahu sedikit rasanya mandiri, tinggal jauh dari orangtua.
Dengan menjadi relawan, mentalku lebih terbentuk. Dari anak rumahan, jadi anak petualang. Petualangannya berupa berinteraksi dengan warga Sasak, suku asli Pulau Lombok yang tak pernah kukenal sebelumnya. Harus berhadapan dengan budaya, bahasa, karakter dan kebiasaan yang berbeda.
Pengalaman lainnya, aku bertambah kenalan sesama relawan dari Jawa. Tidak hanya berinteraksi dengan warga, memakai pendekatan yang tepat untuk mengajar anak-anak, menikmati pemandangan pantai, mencoba kuliner sekitar hingga menjelajahi daerah wisata yang tenar di mancanegara.
Mengasihi dengan datang mengunjungi
Kasih yang tulus diwujudkan dalam tindakan. Ingin memberi donasi, wong pekerjaan saja tak punya. Tapi aku masih punya waktu dan tenaga. Maka itulah yang kuberikan.
Komposisi yang membuatku memutuskan jadi relawan: belum ada pekerjaan, ingin mendapat pengalaman, dan berbagi khususnya dalam pendidikan.
Transportasi, akomodasi, dan asuransi ditanggung penyelenggara program. Ketika awal tiba di lokasi, aku tercengang dengan beberapa kesaksian warga. "Baru kali ini ada orang dari luar Lombok yang mengunjungi kami. Ini namanya Indonesia. Kalau tidak gempa, kami takkan dikunjungi. Kami senang dikunjungi," begitu kira-kira luapan hati mereka.
Meski kecil, tapi berarti