Pada kasus yang jamak terjadi, pembuatan SIM. Aku—dan banyak orang pasti pernah mengalami—pernah berharap kepada polisi. Disebabkan ribetnya birokrasi, orang lebih suka ‘nembak’ agar cepat dan mudah. Kalau ada kenalan anggota polisi, urusan bakal mudah, katanya.
Padahal polisi kan juga manusia, hanya emblem dan seragam coklat yang membedakan dari kebanyakan kita. Sekarang bahkan susah dibedakan dari satpam di bank dan pusat perbelanjaan. Mempercayakan urusan pada oknum polisi, selain besar peluang terjadinya suap, juga menutupi kebobrokan sistem.
Aku ceritakan sedikit pengalamanku tentang “lapor kerabat polisi”. Selama bermahasiswa aku dipercayakan mengendarai motor tanpa dibekali SIM. Bapakku malah mengajarkan jurus, “Kalau ada operasi (baca: penilangan), menghindar ya, jangan sampai ketilang.” Sebagai anak yang baik dan berbakti, aku hanya bisa mengiyakan. Di lapangan: aku ketilang lebih dari tiga kali. Penyebabnya beragam, dari melanggar jalur, memboncengkan teman yang tidak memakai helm, dan paling sering tidak punya SIM.
Nah, mungkin karena malu aku sering ketilang, menjelang lulus kuliah aku akan dibuatkan SIM C oleh bapak, sekalian dengan adikku. Dia berpesan, agar kami nanti bilang kepada petugas, “Aku saudaranya Jarwo.” (Sumpah, aku tak kenal siapa Jarwo—nama disamarkan) Sedang bapak menunggu di luar gedung. Setelah mengisi formulir, tes teori, dan praktik, kami diminta membayar administrasi.
Lucunya, membayarnya bukan di loket. Tapi, oleh salah satu petugas kami diminta menepi. Supaya tidak dikibuli, aku langsung sampaikan pesan bapak. “Aku saudaranya Jarwo, pak.” Hasilnya? Polisinya lebih pintar dari rakyat jelata. Dia sudah hapal dengan pencatutan nama sejenis itu. Aku tetap harus membayar sesuai harga yang dia minta. Hal serupa aku alami, beberapa tahun kemudian saat membuat SIM A. Tak ada beda.
Sejak saat itu, aku tak mau bergantung pada polisi atau jabatan tinggi manapun. Aku sadar konsekuensi setiap tindakanku, dan aku akan hadapi. Berkendara harus tertib, kalau melanggar ya diberi sanksi. Syukurnya juga, aku tak pernah lapor-lapor pejabat polisi atau TNI. Soalnya tak punya kerabat pejabat, hehe.
Suatu pertanyaan
Arogansi anggota polisi/ TNI bukan sekali dua terjadi. Apa yang salah? Menurut praktisi hukum asal Maluku Abdul Haji Talaohu, kejadian serupa didorong ada ego institusi yang lahir dari doktrin sejak mereka digembleng di lembaga pendidikan. (jogja.tribunnews.com)
Jika seorang polisi/ TNI diseleksi secara ketat saat penerimaan, harusnya emosionalnya terkontrol dan tidak ada insiden baku hantam saat saudaranya melapor, bukan? Wibawa seorang prajurit atau penegak hukum harusnya sejalan dengan fisik tegap, dan seragam rapi yang dikenakan, apalagi kalau bintangnya banyak. Bukan untuk gagah-gagahan saling pukul.
Prajurit sejati/ aparat terhormat harus tahu prioritas. Tahu membedakan mana kepentingan jabatan dan urusan pribadi. Jika dicampuraduk, hancur negara!
Suatu nasihat