Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tebar Semangat di Medsos? Boleh, tapi Harus Pintar!

30 Oktober 2021   14:12 Diperbarui: 2 November 2021   05:30 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari dalam minggu ini, tiap berangkat bekerja aku melihat polisi lebih banyak dari biasanya di tepi jalan. Mereka berjaga di pertigaan dan depan sekolah untuk menyeberangkan pengemudi maupun pejalan kaki. Tumben. Mungkin imbas dari kritikan di media sosial.

Sejak hashtag #percumalaporpolisi trending di medsos, pihak kepolisian jadi viral. Namun, viral yang negatif. Aparat kepolisian dikabarkan tidak melayani rakyat dengan baik. Pelopor hashtag ini anak muda (generasi milenial), kelompok usia yang dominan di medsos.

Medsos di tangan milenial berarti dunia dalam genggaman. Konten foto, video, berita, game, e-commerce, tren sampai gosip; menjadi 'santapan' wajib sehari-hari. Ibaratnya, milenial tak eksis tanpa medsos. Sebab dengan aktif di medsos, mereka kian tenar.

Dari aktivitas di medsos ini, ada yang baik dan buruk, yang setuju dan menolak. Yang jadi pembeda, value (nilai) apa yang kita perjuangkan di medsos. Narsisme, keadilan bersama, kepedulian, hedonisme, keyakinan pada paham/dogma tertentu, kegaguman pada idola, atau sekedar mengekor.

Bagi milenial, medsos bisa jadi ajang promosi, apresiasi bagi pemilik jiwa pahlawan, serta kritik akan hedonisme, ketidakadilan atau penyelewengan. Tak seperti generasi pendahulunya yang mengkritik lewat gerakan masa atau baliho-baliho besar, milenial adalah kaum efisien. Kritikan mereka lembut tapi masif, melalui genggamannya.

Banyak buktinya, dengan kritik di medsos, baru dilakukan pembenahan-pembenahan.

Milenial---generasi yang paling cepat mempelajari hal baru---adalah kekuatan yang besar, tapi juga rapuh. Sayangnya, potensi mereka bisa disalahgunakan untuk kepentingan diri/ kelompok tertentu. Ini jadi berbahaya jika mereka terlibat dalam ujaran kebencian dan penyebaran berita palsu.

Sebagai manusia yang berakal budi, apalagi bangsa yang terkenal budaya ramah dan santun, kita---mewakili milenial---harusnya aktif di medsos, tapi juga harus pintar. Semua boleh diunggah di medsos, benar. Tapi tidak semua berguna.

Ingat, medsosmu harimaumu. Apa yang kita tulis, komentari atau unggah di media sosial bisa jadi seperti harimau liar yang berpotensi melukai orang lain, bahkan bumerang bagi diri. Jangan sampai predikat "warganet paling tidak sopan di Asia Tenggara" kita pertahankan.

93 tahun lalu, para pemuda dari berbagai latar belakang bersatu untuk merangkul keberagaman bangsa dalam momen Sumpah Pemuda

Kini, dengan medsos sebagai 'senjata', jangan sampai memudarkan rangkulan itu. Sebagai ujung tombak bangsa bagaimana kita menjaga semangat itu tetap kokoh membara? Yuk, mulai dari yang paling sepele di sekitar kita.

Barisan penyingsing lengan kiri

Meski di beberapa daerah di Indonesia kasus Covid-19 sudah menurun, tak berarti 'peperangan' selesai.  Kita membuat kemajuan, tapi 'perang' masih berlanjut. 

Kita harus tetap waspada, karena virus Corona tetap mengintai. Biar sudah mendapat dua dosis suntikan vaksin, protokol kesehatan harus terus tegak. Jangan kasih kendor!

Para pemuda penyingsing tangan kiri | foto: dokpri/DELIANA
Para pemuda penyingsing tangan kiri | foto: dokpri/DELIANA

Sedangkan, masih ada kelompok masyarakat yang belum bisa divaksin. Entah terkendala kondisi kesehatan, atau antrian stok. Belum terhitung mereka yang sampai saat ini menolak vaksin karena berbagai alasan. 

Di sinilah peran pemuda untuk bersatu melawan Covid-19 dan virus kebebalan kelompok. Kapan lalu temanku, barisan pemuda, sedang mengantri untuk vaksin. Mereka suka disebut barisan pemuda-pemudi penyingsing lengan kiri. Mantab!

Berkarya melalui barang bekas

Apa tindakan anda dengan barang bekas? Menjualnya atau justru membuangnya? Tidak begitu dengan kumpulan pemuda di Sanggar Lima Benua, bermarkas di Klaten, Jawa Tengah. Mereka mendaur ulang besi bekas berbobot 1,5 ton menjadi barang seni. (detikcom)

Karya seni Sanggar Lima Benua dari barang bekas | foto: Media Indonesia/Djoko Sardjono
Karya seni Sanggar Lima Benua dari barang bekas | foto: Media Indonesia/Djoko Sardjono

Mereka merancang program Art Klat Sumpah Pemuda. Dari program ini Liben (sapaan akrab Lima Benua) menghasilkan 93 item produk seni berbahan besi bekas untuk memperingati Sumpah Pemuda ke-93. 

Mereka melibatkan tujuh seniman, merepresentasikan tujuh organisasi pemuda yang berkontribusi dalam Sumpah Pemuda. Hari gini, mengolah barang bekas? Sepele, tapi value-nya tinggi, toh?

Gaya hidup berbagi

Dari barisan artis di Indonesia yang demen pamer kekayaan, 'merayakan' kematian demi konten di Youtube, atau yang suka berbagi rezeki lewat SMS; kita perlu mengagumi artis yang gaya hidupnya berbagi. Salah satunya, Cinta Laura.

Dalam salah satu tayangan TV bertema "Prestasi vs Sensasi", Cinta Laura mengungkapkan prestasi lebih penting dibanding sensasi. 

"Jika kita sudah punya anak", ungkap Cinta, "lalu kita melakukan sesuatu yang negatif, apa kita ndak malu kalau anak kita melihat yang negatif itu?" Seketika membungkam artis penganut sensasi dalam acara tersebut.

Cinta ingin masuk buku sejarah, kelak jika sudah meninggal, orang akan mengingatnya pernah melakukan sesuatu yang positif. Masuk akal kan, gais?

Cinta Laura bersama anak-anak SD di Pangerasan | foto: Youtube/ Cinta Laura Kiehl
Cinta Laura bersama anak-anak SD di Pangerasan | foto: Youtube/ Cinta Laura Kiehl

Selain pintar dan cantik physically, Cinta juga cantik hatinya. Dia berani menerobos gaya hidup hedon yang lazim dijalani para artis. 

Dalam channel Youtube Gritte Agatha, Cinta mengungkapkan bahwa dari kecil dia diajari melihat segala sesuatu dari perspektif yang luas. 

Dia merasa bersalah misalnya, membeli tas branded seharga 30 juta. Padahal dengan uang itu, banyak keluarga atau anak yang bisa disekolahkannya. Pakai 30 juta untuk beli tas, not worth it, ujarnya.

Cinta tidak membual. Melalui yayasan keluarganya, Soekarseno Foundation (soekarsenofoundation-clk.org), Cinta dan keluarganya berkomitmen membantu pendidikan anak-anak di Indonesia yang mengalami kendala, khususnya di daerah Cijeruk, Bogor.

Di tengah pandemi yang menghambat pembelajaran tatap muka, anak-anak di kaki Gunung Salak mengikuti pembelajaran daring (dari rumah). Sebabnya susah sinyal. 

Jangankan sinyal, beberapa keluarga kesulitan menyediakan gawai untuk anak belajar daring seperti anak-anak di perkotaan. Soekarseno Foundation hadir untuk menjembatani kesenjangan ini.

Faktanya, mindset seperti dimiliki Cinta Laura tidak populer di kalangan pemuda saat ini, apalagi artis. Tapi, sebagai pemuda kamu bisa punya semangat yang sama untuk berbagi di media sosial. Dengan cara dan kapasitas versi kamu. 

Ayo pemuda, pakai media sosial untuk Bersatu, Bangkit dan Tumbuh! --KRAISWAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun