***
"Enam puluh empat dibagi empat, sama dengan..." tulis guruku di papan hitam pada suatu pelajaran matematika.
Aku sulit mengidentifikasi, apakah tulisan tangan guruku yang terlalu cepat, atau arus listrik dalam saraf-saraf otakku yang lemah.
Aku tak dapat menemukan alasan atau teori ilmiah, apa korelasi bilangan empat, enam belas, dan enam puluh empat seperti yang tertulis di papan hitam.
Apakah tanda dua titik itu menjadi orang tua para bilangan tersebut? Entahlah!
Aku hanya sanggup memindah angka-angka di papan ke dalam buku tulis, sama persis. Tak ada penambahan apa pun, karena memang tak tahu apa yang mau ditambahkan.
Buntutnya, malam-malam sehabis maghrib, aku bertandang ke rumah temanku sekelas---yang masih ada ikatan kerabat. Niatnya tentu saja minta diajari soal pembagian.
Dan kau tahu apa yang terjadi? Aku menyesal tak memperhatikan saat guru menjelaskan.
Bertanya pada guru sama saja usaha bunuh diri. Siapa pula yang berani menghadap sang "maha tahu" hanya untuk menanyakan sesuatu yang sudah dijelaskan.
Di rumah temanku itu, kondisinya tak kalah pilu. Aku dihina dulu, diremehkan, baru diajari. Tidak betulan diajari sebenarnya. Aku diizinkan mencatat dari bukunya, dan dari situ barulah, "Ooo.... begitu..."
Sejak saat itu, hatiku dipenuhi bermacam-macam kebencian. Pada angka-angka Matematika yang kejam. Pada temanku yang pongah. Dan tentu saja, pada diri sendiri yang berotak lamban.