Membuat berdua, menikmati berdua, mengasuh pun begitu. Iya dong?
***
Keindahan berumah tangga terasa di awal pernikahan. Saat masih beradaptasi, menikmati waktu berdua, dan belum ada anak. Dunia rasa milik berdua.
Orang memutuskan menikah, pada akhirnya akan punya momongan, menjadi orang tua. (Kalau ada yang menunda, itu pun pilihan.) Pertanyaannya, sudah siapkah kita?
Siap tidak siap ya harus siap. Secara, mekanismenya begitu. Siap menikah, siap punya anak. Kalau tidak siap menjadi orang tua, tak usah menikah atau melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam pernikahan.
Kehamilan, apalagi yang pertama, menjadi tantangan bagi pasangan, khususnya perempuan/istri. Tubuh perempuan akan mengalami perubahan fisik dan emosi. Perubahan hormon dalam tubuh menyebabkan ketidakstabilan emosi.
Masalahnya, banyak orang yang menganggap kehamilan adalah tanggungan istri. Suami cukup memberi dukungan materi, padahal dukungan spiritual tak kalah penting. Membiarkan istri periksa sendiri, antri, menunggu juga sendirian. Iya kalau ada teman mengobrol, kalau tidak? Apa tidak makin tertekan emosinya?
Bagiku, para calon ayah perlu menemani bunda periksa. Berikut alasannya.
1. Membuat berdua, merawat juga berdua
Pernikahan tidak sesempit berhubungan badan, menghasilkan anak, lalu selesai. Pernikahan adalah kolaborasi berdua menjalani musim hidup. Berdua, mengelola alam semesta, sebagaimana Adam dan Hawa mendapat mandat.
Sejak pacaran, aku terus mendampingi pasangan hidupku. Itu komitmen kami. Mengerjakan semua hal, sebisanya bersama-sama, termasuk periksa kehamilan. Kami akan merawat calon anak kami berdua.
Seorang kakak merekomendasikan salah satu bidan di Salatiga. Pelayanannya ramah, edukatif dan komunikatif. Di sini, suami "dipaksa" masuk ke ruang periksa. Si calon ayah juga diedukasi, diajak diskusi dan bisa bertanya. Ini namanya bidan rasa teman nongki.
Hal ini tidak didapat di semua bidan, apalagi rumah sakit. Jadi, carilah bidan yang demikian. Ayah juga harus belajar!
Tak usah muluk-muluk bicara sampah, kelestarian hutan atau global warming. Yuk, mulai yang paling kecil: keluarga. Ya, keberlangsungan hidup di bumi bergantung dari lembaga terkecil ini.
Jika keluarga berantakan, hancurlah bumi. Sebaliknya, makin harmoni keluarga, seimbang juga kehidupan di bumi.
Aku bersyukur, pekerjaanku memberi banyak waktu dan kesempatan untuk mendampingi istri. Pendapatan tak seberapa, tak apa. Waktuku menemani istri tak kalah berharga.
Kadang aku kasihan melihat perempuan yang sudah hamil besar harus periksa sendiri. Bagaimana kalau kontraksi mendadak dan harus segera lahiran?
2. Merasa dicintai, sistem imun tinggi
Hanya sistem imun yang bisa melawan virus. Untuk memperkuatnya bisa dengan vaksinasi, makan sayur dan buah, minum vitamin, rutin berjemur, serta olahraga teratur. Harus happy pokoknya.
Bagaimana cara mengasihi pasangan? Pelajari dan terapkan lima bahasa kasih ala Garry Chapman. Tapi itu paling pas di masa pacaran sampai awal pernikahan. Di masa kehamilan, bentuknya lebih kompleks.
Baca juga: Mengasihi Pasangan dengan Lima Bahasa Kasih
Sejak mendapati diri hamil, istriku menjalani banyak ketidaknyamanan, apalagi di trimester pertama. Mual, muntah, tidur tidak nyenyak, tidak nafsu makan, sensitif terhadap bau... Gejala beragam bagi tiap perempuan.
Aku hadir setiap hari bagi istri, tapi tak banyak membantu. Aku mencintai istriku, tapi tak mengurangi sedikitpun deritanya. Apa kabar mereka yang (maaf) hamil di luar nikah ya? Deritanya pasti berlipat ganda.
"Istri harus merasa dicintai ya mas. Dibantu kerjaan di rumah, dibeliin makanan yang diinginkan, dipijitin. Kalau bahagia, nanti ibu dan bayi sehat", kata bidan.
Siap bu bidan, istri saya merasa sangat dicintai kok, hehe.
Cinta yang nyata adalah melalui tindakan. Hadir, menemani, menyediakan bahu untuk bersandar, tangan untuk memijat, dan ember... untuk tempat muntah. (Hayo, kamu siap mental?)
Para calon ayah, ayo tunjukkan kehadiranmu, sebisa mungkin, untuk mendapingi bunda dan merawat debay.
3. Makin akrab dengan calon bayi
Selain membuat lebih nyaman, dengan mendampingi ibu hamil periksa, calon ayah bisa tahu langsung perkembangan janin dalam kandungan. Bahkan, kedekatan emosional dengan si kecil mulai terbentuk. (alodokter_id)
Anak lebih mudah akrab pada ibu karena digendong di perut ibu sembilan bulan. Begitu kata orang tua. Mungkin benar. Aku pun tak akrab dengan bapakku. Tapi, bisa jadi selama aku di perut ibu, bapak tak pernah mengajakku mengobrol.
Mengajak ngobrol bayi di dalam perut? Serius?? Itu kan aneh!
Sejak janin terbentuk dalam rahim, dia adalah seorang pribadi, meski masih sangat kecil. Bahkan manusia tak lebih dari sebutir debu di tengah semesta, toh?
Sebagai pribadi, janin sudah bisa diajak berkomunikasi. Mungkin belum bisa merespons seperti menjejak atau meninju seperti di usia trimester dua. Tapi, dia mendengar dan merasa.
Sejak istriku hamil, aku sering mengajak calon bayi kami bicara. Istriku geli, masa bicara pada perut. Aneh, katanya. Tak apa. Itulah kenapa, orang tua zaman dulu tak melakukannya. Mereka tak tahu, dan tak ada yang memberi tahu.
Harapannya aku akan lebih akrab dengan calon bayi. Aku percaya, setiap waktu yang kulewati dengan istri, termasuk periksa, jadi pengalaman buat si bayi bahwa ayahnya selalu bersamanya.
Semoga kelak, dia betulan akrab denganku. Kami akan menjadi sahabat paling hebat. Aku akan mengajarkannya iman yang benar dan bermacam keterampilan hidup, memilih yang benar dari yang tidak, dalam memilih pasangan hidup dan bagaimana mengambil peran sebagai seorang penjaga semesta.
Wahai calon ayah, kamu sudah mendampingi bunda? --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H