Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Dari Pegagan, Tertunda jadi Juragan

11 Agustus 2021   18:19 Diperbarui: 13 Agustus 2021   04:01 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Label keripik Pegagan Makpon | gambar: KRAISWAN

Mereka yang beruntung menunggu kesempatan bakal kalah dari yang mengejar kesempatan, meski tidak beruntung

***

Aku lahir dan dibesarkan di Watuagung, suatu Desa di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Vegetasinya didominasi sawah warga maupun bengkok (lahan milik desa, yang dipinjamkan pada pamong desa untuk digarap dan dipanen hasilnya sebagai pengganti gaji; biasanya diperburuhkan kepada warga), serta hutan karet yang dikelola PTPN.

Omong-omong tentang hutan karet. Darinya banyak perut menggantungkan hidup. Sebutlah penyadap karet, perumput, pencari kayu bakar, dan pemburu daun pegagan---seperti aku. Dari daun pegagan aku berhasil mendirikan perusahaan industri rumahan. Recehan, sih.

Pegagan, bagi sebagian orang dipakai sebagai ramuan obat tradisional dengan cara diseduh, lalu diminum airnya. Bisa juga direbus, dimakan sebagai sayur. Teksturnya lembut, rasanya pahit, tapi enak.

Bagiku, daun pegagan menjadi peluang bisnis. Aku mengolahnya menjadi keripik, hasil kolaborasi dengan bapak, ibu dan adikku. Adik yang menelurkan ide. Ibu yang memproduksi, bapak yang mencarikan kayu bakar. Aku yang merumput, mengemas dan memasarkan. Jadilah bisnis keluarga, wkwkwk. Aslinya belum perlu membayar tenaga orang.

Di sini aku ceritakan kisah asam-manis dalam mengerjakan bisnis. Belum mendekati berhasil, tapi kata pepatah tetap ada pelajaran, toh?

Bagaimana bisnis dimulai

Suatu hari penghujung 2019, adikku pulang membawa sekantong dedaunan. Tanpa introduksi, dia meminta ibu mengolahnya. "Rendeng, enak dibuat keripik", jawabnya singkat saat ditanya apa isi plastik.

Dengan wawasan seadanya, ibu segera mencampur tepung beras, air, bawang putih, ketumbar dan rempah lainnya yang diuleg menjadi adonan. Daun pegagan tadi dicuci bersih lalu ditiriskan.

Panaskan minyak dalam wajan, celupkan daun ke dalam adonan tepung---jangan terlalu tebal. Jika minyak sudah panas, masukkan daun yang sudah 'diselimuti' ke dalam wajan, satu-persatu. Yakin satu-satu? Lama dong? Itulah tantangannya. Harus sabar, supaya hasilnya elok. Tidak kempel/ keriput, atau terlipat.

Waktu lebaran, keripik pegagan menjadi salah satu pengisi toples yang menghiasi meja. Datanglah kerabat bersilaturahmi, dan mencicip. Menurutnya, keripik itu enak. Ditambah dorongan dari pacar supaya mengemasnya dan dijual. Nah dari situlah muncul peluang bisnis.

Daun pegagan siap diolah | foto: Instagram/ pegagan.makpon
Daun pegagan siap diolah | foto: Instagram/ pegagan.makpon

Pegagan, si herbal sejuta manfaat

Pegagan (Latin: Centella asiatica) disebut juga gagan, rendeng, daun kaki kuda (tiap daerah punya nama tersendiri) tersebar di daerah Asia tropik, termasuk Indonesia. Berkhasiat sebagai obat, diantaranya anti asam urat, menambah nafsu makan, mengobati sakit maag dan kembung, memperkuat sistem saraf (daya ingat), dan masih banyak lagi. (wikipedia)

Limpah manfaat daun pegagan | gambar: pegagan.makpon
Limpah manfaat daun pegagan | gambar: pegagan.makpon

Di daerahku, daun ini banyak tumbuh di hutan karet. Bahannya berkhasiat, mudah didapat, mudah diolah. Tinggal membuka pasarnya. Ini masalahnya.

Aku bukan lulusan ekonomi, tidak ada pengalaman jadi sales, dan bermental gembus. Dari mana mau dapat pangsa pasar? Syukurnya, ada media sosial. Berbekal kamera HP dan laptop, aku membuat brosur ala-ala, lalu mengunggah ke media sosial.

Label keripik Pegagan Makpon | gambar: KRAISWAN
Label keripik Pegagan Makpon | gambar: KRAISWAN

Aku beri label "Pegagan Makpon", sesuai nama ibuku, biasa dipanggil Mak Pon. Aku mencetak stiker dan mengemas per 200 gram. Jika ada yang mau beli curah, ada kemasan 1/2 atau satu kilo juga bisa.

Pesanan keripik pegagan | foto: Instagram/ pegagan.makpon
Pesanan keripik pegagan | foto: Instagram/ pegagan.makpon

Satu dua teman yang penasaran dan yang tahu khasiatnya mulai memesan. Dari mulut ke mulut, keripik pegaganku mulai terkenal. Satu dua orang dari Facebook juga meng-inbox atau japri untuk memesan. Teman kerja ibuku tak ketinggalan. Dari yang mengecer tiap minggu, sampai beli kiloan untuk penganan lebaran.

Wah, masa depan bisnis ini nampak cerah. Kalau terus berkembang, dari pegagan saja aku bisa jadi juragan. Begitu ambisi dalam kepala.

Jalan tak selalu mulus

Aku tak pernah bermimpi menjadi pebisnis atau pengusaha. Satu, tak ada bakat. Dua, tak cukup modal. Tiga, takut berhutang. Lagipula, tak ada benda berharga sebagai jaminan.

Mengerjakan pegagan ini tak perlu banyak modal. Tim pendukungnya pun keluarga sendiri. Bahan baku gratis membuat harga jualku lebih murah dibanding produk lain. Jadi, tak nampak kesulitan di awal.

Bicara keberlanjutan, ini yang sulit. Meski tidak banyak orang yang mengerjakan pegagan, tapi bahan baku utamanya mengandalkan di hutan karet. Saat musim kemarau banyak yang mati. Ada sedikit pun disikat sampai ke akar-akarnya oleh para pencari rumput.

Kenapa tidak membudidayakan sendiri? Tidak punya cukup lahan. Mau sewa lahan, modal lagi kendalanya. Belum bicara pupuk, perawatan, waktu serta tenaga. Ini masih sambilan. Aku pernah mencoba menanam di plastik bekas minyak. Awal-awal tumbuh subur, daunnya besar-besar, setelahnya layu dan mati.

Kalau aku membeli daunnya, artinya harus menaikkan harga jual. Ada yang jual Rp. 40.000/kg daun basah. Ini juga tidak mudah. Maka, posisiku terhimpit. Hingga aku menulis ini, promosiku tidak segencar sebelumya. Aku tidak sanggup memenuhi permintaan, apalagi kalau jumlahnya besar.

Pelajaran penting

Aku bak menghadap tembok tinggi, yang belum menemukan alat untuk melampauinya. Apakah aku berhenti? Ya. Tapi, tidak. Hanya mengambil jeda. Di balik ketidaksuksesanku, berikut pelajarannya.

Melihat peluang, dan mengerjakannya. Wong pinter kalah karo wong sugih. Wong sugih kalah karo wong bejo. Wong bejo kalah karo wong sregep. Orang beruntung kalah dengan orang tekun.

Aku melihat peluang pada daun pegagan. Meski terbatas sumber daya, aku mengerjakannya. Dari daun liar, aku bisa menambah nilainya menjadi peluang bisnis. Orang lain dapat manfaat kesehatan, aku dapat tambahan uang jajan.

Menembus Jakarta sampai Amerika! Meski produksi hanya eceran, aku bersyukur keripik buatanku pernah menembus ke luar daerah. Pesanan datang dari Jakarta, Aceh bahkan Taiwan dan Amerika! Ah, seandainya betulan jadi produk ekspor ya kan...

Keripik pegagan pernah sampai ke luar negeri| foto: Instagram/ pegagan.makpon, adikimyoung
Keripik pegagan pernah sampai ke luar negeri| foto: Instagram/ pegagan.makpon, adikimyoung

Pernah memulai, bisakah melanjutkan? Memulai sesuatu yang baru, atau yang belum banyak dikerjakan orang itu susah. Lebih susah membuatnya berkesinambungan, memutar roda kehidupan. Setidaknya aku pernah memulai. Jika datang musim yang pas, pasti aku lanjutkan. Atau, anda tertarik melanjutkan? Siapa tahu jadi juragan. --KRAISWAN

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun