Mereka yang beruntung menunggu kesempatan bakal kalah dari yang mengejar kesempatan, meski tidak beruntung
***
Aku lahir dan dibesarkan di Watuagung, suatu Desa di Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Vegetasinya didominasi sawah warga maupun bengkok (lahan milik desa, yang dipinjamkan pada pamong desa untuk digarap dan dipanen hasilnya sebagai pengganti gaji; biasanya diperburuhkan kepada warga), serta hutan karet yang dikelola PTPN.
Omong-omong tentang hutan karet. Darinya banyak perut menggantungkan hidup. Sebutlah penyadap karet, perumput, pencari kayu bakar, dan pemburu daun pegagan---seperti aku. Dari daun pegagan aku berhasil mendirikan perusahaan industri rumahan. Recehan, sih.
Pegagan, bagi sebagian orang dipakai sebagai ramuan obat tradisional dengan cara diseduh, lalu diminum airnya. Bisa juga direbus, dimakan sebagai sayur. Teksturnya lembut, rasanya pahit, tapi enak.
Bagiku, daun pegagan menjadi peluang bisnis. Aku mengolahnya menjadi keripik, hasil kolaborasi dengan bapak, ibu dan adikku. Adik yang menelurkan ide. Ibu yang memproduksi, bapak yang mencarikan kayu bakar. Aku yang merumput, mengemas dan memasarkan. Jadilah bisnis keluarga, wkwkwk. Aslinya belum perlu membayar tenaga orang.
Di sini aku ceritakan kisah asam-manis dalam mengerjakan bisnis. Belum mendekati berhasil, tapi kata pepatah tetap ada pelajaran, toh?
Bagaimana bisnis dimulai
Suatu hari penghujung 2019, adikku pulang membawa sekantong dedaunan. Tanpa introduksi, dia meminta ibu mengolahnya. "Rendeng, enak dibuat keripik", jawabnya singkat saat ditanya apa isi plastik.
Dengan wawasan seadanya, ibu segera mencampur tepung beras, air, bawang putih, ketumbar dan rempah lainnya yang diuleg menjadi adonan. Daun pegagan tadi dicuci bersih lalu ditiriskan.