...Meski orang-orang... mementingkan diri sendiri, tetaplah menjadi baik. Patuhilah protokol kesehatan. Kalau pun sampai (amit-amit) positif, itu bukanlah aib. Mending jujur, segera mendapat penanganan yang tepat.
Demikian penutup artikelku sebelumnya (lengkapnya di sini). Waktu itu aku betulan negatif Covid-19 setelah dua kali swab dan dua minggu isoman. Siapa kira di kesempatan berikut aku harus merasakan positif. Kok bisa?
Bagaikan berdiri di ladang ranjau. Berdiam diri bukan solusi. Mau melangkah juga terancam menginjak ranjau.
Satu minggu liburan akhir semester harusnya bisa dinikmati bersama keluarga meski di rumah saja. Namun semua keindahan itu harus direlakan. Tanggal 24-26 Juni aku melayani di Surabaya, tiga hari sebelumnya persiapan. Gegara pandemi, pelayanan Sekolah Injil Liburan dilakukan daring, malah bisa menjangkau anak-anak di sepenjuru Indonesia via Zoom. Konsepnya mini drama, aku menjadi satu dari lima tokoh utama. Kelimanya harus syuting di Surabaya.
Kenapa bak di ladang ranjau? Aku baru saja dinyatakan negatif setelah kontak erat pasien Covid-19. Ini perjalanan ke Surabaya, satu kota yang pernah zona hitam. Jika aku sampai terpapar tanpa gejala, lalu menularkan pada istri dan calon debay... mengerikan kawan! Aku tak bisa mengambil resiko sebesar itu!
Tapi... setelah mendoakan beberapa waktu, berdiskusi dengan ibu mentor dan istri---yang sebelumnya sempat keberatan---akhirnya hati istri dilembutkan. Aku diizinkan berangkat, harus menuntaskan pelayanan.
Senin 21/6 aku, seorang teman dan ibu mentor dijemput bapak mentor dengan mobil, diantar ke stasiun. Begitu masuk mobil, aku langsung merangkap masker medis dengan N-95.
Sekitar satu jam perjalanan, kami tiba di Solo Balapan. Kondisinya ramai, tapi tak sampai berkerumun. Di loket A, ibu mentor mengambil nomor antrian dan potongan form.Â
Setelah kami mengisinya, beliau membayar di loket B dan mendapat kantong transparan yang sudah ditempel identitas kami. Di loket C, kami diminta memasuki bilik yang kosong berdinding transparan.
"Tarik nafas yang dalam, keluarkan lewat hidung. Lakukan dua kali. Pada tarikan ketiga buang nafas lewat mulut, tiupkan udara ke dalam kantong, lalu pencet tombol penutupnya." Begitu bunyi instruksi di kertas tertempel. "Sudah pernah tes GeNose?" Gelengan kepala membuat mbak petugas harus turun tangan.
Pengambilan sampel selesai, petugas mengolahnya. Dag-dig-dug serrr.... Takut? Tidak, tapi sedikit cemas. Setelah 20 menit, nama kami bertiga dipanggil. Di setengah lembar kertas A4 itu tertulis jelas: NEGATIF.
Puji Tuhan! Lega. Langkah berikutnya pasti lancar.... Tapi, apa jaminan?
"Pertama kali naik kereta di era pandemi, aman kok!" Itu judul yang sudah menyembul-nyembul di kepala begitu tiba di rumah singgah. Tapi belum dibuat draf, judul itu salah total! Kenapa salah?
Senin malam, jam 21.14 WIB kami tiba di stasiun Gubeng, langsung pesan Gocar ke rumah singgah. Sejam kemudian kami baru makan malam, dipesankan belut penyet. Esoknya, 22/6 tenggorokanku meradang. Pasti gegara minyak goreng penyetannya, pikirku.Â
Kutanya rekanku, tak ada masalah. Kami sarapan, lalu kembali tidur. Beranjak sekitar jam 13.00 untuk briefing tim inti. Setelah cek lokasi dan diskusi kecil, petangnya kami tes swab di halaman gereja.
Sempat antri sebentar, tiap kami selesai diambil spesimen dari hidung. Saat menunggu di dalam ruangan, ibu mentorku menelepon, memintaku ke luar. Ada apa?
"Pak, kami harus sampaikan, Pak Kris positif." JEDYARRRRR! Langit malam tetap gelap, suara petir tadi tak berwujud. Bagaimana bisa...???! Kenapa......
Nah kawan, mudah saja aku menasehati kalian agar tetap tenang dalam kondisi tegang. Waktu mengalaminya sendiri, susah! Tarik nafas, keluarkan perlahan... Harus tenang. Jangan panik. Jika panik makin melemahkan sistem imun. Apa langkah berikutnya?
Pilihannya, aku dipulangkan---sebelum bertanding---atau isoman. Panitia sedang repot, ditambah susah dengan kondisiku. Kalau dipulangkan, bagaimana caranya? Tak mungkin kendaraan pribadi atau bus. Pilihan terbaik saat ini isoman.
Aku dipesankan kamar buat lima hari, terpisah dari rekanku. Teman kamarku sebelumnya harus membereskan barang-barangku. Ibu mentor membelikan barang kebutuhan darurat. Setelahnya aku pamit dan pesan ojol menuju kamar isolasi. Cukup konfirmasi dengan menyebutkan nama, lalu ditunjukkan kamar. Segera tanggalkan semua pakaian, mandi dan ganti baju. Aku melahap roti dan buah. Minum air mineral yang banyak. Harus tenang!
Pergulatan berikutnya, bagaimana caraku memberitahu istri? Sedari sore dia menanyakan, apakah sudah makan, lagi acara apa...? Mateng! Apa jadinya kalau dia tahu aku positif? Bagaimana kalau dia syok, lalu sedih, dan nge-drop?
Aku berdoa malam itu juga, meminta hikmat dari Tuhan. Bersyukur, meski positif tidak ada gejala berat. Namun, aku tak sanggup menahan beban ini sendirian, lalu menimbun kebohongan pada istri. Kalau aku tertekan lalu stres, imunitasku menurun, bakal menyusahkan lebih banyak orang. Dengan pertolongan Tuhan, akhirnya aku jujur ke istri. "Masa...?", dikiranya aku bercanda.
Meski sedih, istriku mencoba tegar. Dialah wanita terhebat setelah ibuku! "Jauh-jauh ke Surabaya kok cuma mau isoman," ledeknya. Ahaha.... Biar keadaan sulit, dia menolak menyerah. Dia tetap mendukungku meski dari jauh.
Dua hari pertama isolasi sakit kepala, perut mual, lidah pahit. Maunya tiduran saja, istirahat. Hari ketiga penciuman berkurang. Hari keempat, tak bisa mencium sama sekali! Begini rasanya kena Covid-19. Tersiksa jiwa raga, jauh dari keluarga. Anda tak harus mengalami sepertiku agar mematuhi protokol kesehatan, kan?
Selama lima hari di kamar isolasi, aku bersyukur tetap bisa pelayanan secara daring. Sudah jauh-jauh ke Surabaya kok ya daring, hihi. Tak apa, inilah porsiku. Aku menjalani dengan ikhlas dan terus semangat!
Jumat, 25/6 mentorku japri, memberitahukan rencana "kabur dari penjara". Tiket pulang sudah dipesan jauh hari untuk Sabtu (26/6) malam selesai acara. Aku diminta mencoba tes GeNose. Jika lolos, bisa isoman di rumah, dekat jiwa-raga dengan istri. Aku dan mentor sepakat takkan berkontak sejak dari stasiun. Dari Semarang Tawang, kami langsung berpisah, aku naik Gocar.
Kayak Mission Impossible, guys! Aku harus keluar penjara, menerobos sistem di kereta melalui tes GeNose. Tak sampai berdarah-darah sih, tapi tetap beresiko.
Kalau tak lolos GeNose? Plan B, aku lanjut isolasi di kamar kos. Ini mengerikan. Diperpanjang masa "kurungan", tertunda bertemu istri. Tapi jika ini tugasku untuk menyelamatkan penduduk Bumi, aku belajar ikhlas, hiks. Itu juga berarti masih akan merepotkan orang lain.
Singkat cerita, Sabtu sore dalam jeda Zoom meeting aku tes ke stasiun. Persiapanku? Makan banyak, istirahat cukup, makan buah dan vitamin, berpikir positif, berdoa, dan yakin! Atas saran istri, aku harus sering kumur.Â
Sebelum berangkat dan sebelum ke ruang tes aku kumur dengan larutan strong acid. Spesimennya adalah udara dari mulut, jadi mulutnya harus bersih, begitu logikanya. Hasilnya: NEGATIF!
Aku bingung, harus bersorak atau terisak. Aku bisa naik kereta, pulang malam itu, segera bertemu istri; harusnya bersorak. Tapi terisak, ternyata tes GeNose sangat lemah! Dua kali aku tes dan lolos, padahal kemungkinan besar masih positif. Di kereta aku tetap pakai dobel masker, tak beranjak dari kursi dan tak kontak dengan siapa pun. Di Gocar rute Semarang-Salatiga aku duduk di kursi tengah, tak banyak bicara dengan driver.
Ahmad Utomo, pakar biologi menolak penggunaan tes GeNose yang dinilai tak akurat. Termasuk banyak testimoni masyarakat, hasilnya tak cocok dengan tes PCR. (yogya.inews.id) Hal senada disampaikan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra, alat tes Covid-19 buatan kampus UGM ini tidak bisa dipakai untuk penemuan kasus baru. Bagi perokok, atau orang yang mengonsumsi makanan berbau misalnya, dapat mengurangi akurasi tes GeNose. (cnbcindonesia.com)
Ada hal baik dari keadaan tidak baik
Seandainya aku tak jadi pergi, aku tak ada keharusan melakukan tes. Bisa jadi aku tak pernah tahu bahwa terinfeksi. Dampaknya bisa lebih parah, menularkan pada lebih banyak orang. Meski selama di Surabaya itu aku isoman dan merepotkan banyak orang, aku bersyukur. Sejarah hidupku mencatat aku salah satu pejuang melawan Covid-19.
Terima kasih ibu mentor, rekan-rekan, satgas Covid Jatim-Bali dan semua teman-teman yang penuh kasih dan perhatian. Kalianlah support system yang ampuh!
Dari pengalamanku tes GeNose sangat TIDAK AKURAT. Bayangkan, ribuan orang---yang kemungkinan positif---bisa bepergian via kereta, justru bisa menularkan virus lebih luas. Sejak diumumkan alat tes GeNose, aku memang tak pernah takjub.
Memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun, menjauhi kerumunan, mengurangi mobilitas, dan menghindari makan bersama. Kalau diringkas 1 M: Memakai hikmat Tuhan dalam segala keadaan. Bukan vaksinasi atau percaya diri berlebih yang melindungi kita dari Covid-19. Tapi sikap kita dalam menjaga prokes. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H