"Guys, di mana-mana nih ya, kalau potong rambut itu bulu-bulu halusnya dibersihkan, potongnya sesuai permintaan, habis keramas trus dipijat. Ini enggak!Â
Kalau mau rapihin bulu halus kudu beli razor, trus nggak dipijat! Kapitalis banget! Coba kalian viewer gue, jelasin ke gue. Ini cuma di barbershop ini, atau di seluruh Salatiga kayak gini..."
Hush... hush... Ini ruang menulis Kompasiana, bukan saluran Tik-Tok, coy!
Siapa yang tak jengkel. Mau pangkas rambut kok dikit-dikit bayar. Alih-alih nyaman, pelanggan justru dirugikan.
Suatu hari Sabtu, jadwalku merapikan rambut. Di barbershop langgananku, Barbershop 1, terletak di Jl. Patimura, pas sedang perbaikan jalan. Penggantian aspal menjadi cor.Â
Meski pintunya dibuka, semua kursi ditutup koran, lampunya tidak menyala. Mungkin sedang renovasi. Sedang tidak membuka jasa.
Disebabkan urgensi ketampanan, aku mencari barbershop lain. Hari itu juga harus potong rambut. Pergilah aku ke eks-langganan, Barbershop 2. Karena sangat mendesak, terpaksa balikan pada "mantan". Ternyata, namanya "mantan" tetap menyakitkan. (Bukankah begitu, kalian yang banyak mantan? Saya tak punya mantan soalnya.)
Baca juga:Â Dari Barbershop, Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya
Tak ubahnya kelas BPJS, di Salatiga ada tiga strata pemangkas rambut. Kelas 3, jajarannya di dekat pasar. Mau model apa pun mereka bisa.Â
Bebas, sesuai selera dan mood si pemangkas. Malahan, mereka tahu mode paling anyar. Tak soal jika model itu tak nyambung dengan bentuk si pemilik kepala. Tarif sekitar Rp. 10.000 sekali potong.
Di kelas 2, barbershop menengah. Modelnya juga bermacam-macam, meski tak sebanyak yang kelas 3. Bedanya, di kelas ini ada layanan keramas dan pijat.Â
Tarifnya Rp. 20.000. Sedangkan di kelas 1, seperti Barbershop 2 itu lebih premium. Para barberman (sebutan untuk pemangkas) rambutnya dicat bermacam warna. Dari merah sampai pirang. Ruangannya ber-AC. Banyak pilihan paket. Interior sampai eksterior, mewah! Pokoknya beda. Tarifnya paling murah Rp. 25.000.
Disebabkan oleh keadaan, aku terpaksa pangkas rambut di Barbershop kelas 1. Berikut hal-hal menyakitkan di tempat mantan itu.
Layanan dijual terpisah
Anda belumlah lupa, polah wisatawan muda di Malioboro. Membuat geger di media sosial gegara pecel lele yang dijual terpisah. (Pernah saya ulik di sini) Mirip dengan kisah si wisatawan, layanan di Barbershop 2 dijual terpisah.
Bayangkan. Kalau di barbershop kelas 3 hanya dipangkas, dikerok, lalu pulang itu wajar. Lha ini, barbershop kelas 1 kok layanannya sama dengan kelas 3. Sudah begitu, dipangkasnya hanya sedikit. Rugi dong. Ya gue proteslah! "Macam udah tumbuh seminggu rambutmu", kata istri. Bah!
Ternyata, di tempat ini layanan yang diberikan padaku adalah pangkas biasa, tarifnya Rp. 25.000. sedangkan kalau mau lebih rapi, dibersihkan bulu-bulu halusnya plus pijat, harus yang special cut, tarifnya Rp. 40.000. Gile lu ndro, ini di Salatiga, bukan Jakarta, masa pangkas segitu!
Prokes OKE, tapi fungsi utama tak efektif
Lama tak bertemu "mantan", aku tak tahu perkembangannya. Setelah memarkirkan motor, aku disambut sebuah kertas pesan di atas kursi. "Jangan langsung dibuka. Pintu dalam kondisi terkunci. Ketuk dulu sebelum masuk." Ini mau pangkas apa bertamu...?
"Masnya mau apa?"// Ngajakin kau main catur! Ya pangkas lah! "Pangkas mas."
"OK, cek suhu dulu ya...", sejurus kemudian tanganku disemprot handsanitizer sampai muncrat ke banyak sisi. "Tulis nama dulu mas... Karena di dalam ada lima orang yang antri, masnya nunggu di luar dulu ya. Nanti saya panggil." Buset...
Harus diakui, di Barbershop 2 itu prokesnya OK punya. Antrian di dalam dibatasi, dibuat berjarak. Barberman-nya memakai masker dan face shield. Bahkan pelanggan tetap diizinkan memakai masker. Wow!
Tapi, fungsi utama mereka malah tak efektif. Jasa mereka di bidang pangkas rambut. Orang datang ya mau pangkas rambut. Kenapa harus dibuat repot dan malah tidak nyaman?
Datang mau potong, bukan belanja
Baru saja aku duduk, si barberman menawarkan banyak menu. Bak makan di warteg. "Mau pakai penutup badan sekali pakai, Kak?"// Nggak mas.Â
Meski penutup badan itu cuma Rp. 3.000, aku ogah membelinya. Toh sampai rumah aku bakal langsung mandi, mencuci semua yang dikenakan. Ogah nyampah.
Ibarat ujian di bulan puasa, si barberman adalah si penguji. "Mau potong gimana mas?" Biasa. "Biasanya yang kayak gimana? Masnya pernah potong ke sini?" Heee mantan! Lu pekerja baru kan, bawel!
Cuma sepuluh menit, rambutku kelar dipotong. Cuma sedikit dipotongnya. Lalu hanya dikeramas, dan dikeringkan rambut, tanpa pijat! "Mau vitamin rambutnya, Kak?" Nggak mas. (Situ kismin ya, wkwkwk) Aku sudah pengalaman. Dulu, aku ditawari vitamin rambut juga. Cuma sebiji kapsul, Rp. 5.000 cuy!
Helooo, gue mau potong rambut, bukan belanja.
"Datang ganteng, pulang tambah ganteng", begitu motto barbershop mahal. Lha aku datang ganteng, pulangnya malah berkurang kadar gantengnya. Hadeuh!
***
Harus diakui, pola bisnis Barbershop 2 adalah cerdik. Mereka menawarkan layanan prokes, tapi biayanya bakal mahal buat sekedar pangkas rambut. Pemilik barbershop boleh cerdas, kita kudu lebih licik (baca: lihai) agar tak termakan rayuan.
Buat viewer gue, hati-hati memilih barbershop. Jangan asal mau kalau ditawari yang macem-macem. Tanyalah dulu, daripada menyesal kemudian. Salam ganteng. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H