Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Sudah Susah-susah Mematuhi Prokes, Aku Positif Juga...

11 Juni 2021   13:08 Diperbarui: 11 Juni 2021   13:52 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak pun mau dites di puskesmas | foto: KRAISWAN

"Huaaa... Aku ndak sakit ayah... Ndak mau ayah... Dipegangi ayah...", jerit balita lelaki bertumbuh gempal di suatu puskesmas. Kasihan, anak sekecil itu harus mencicipi rasa sakit dan takut gegara Covid-19. Bocah itu bersama adik lelaki dan ayah-ibunya masuk daftar tracing di puskesmas pembantu sekitar domisiliku.

Bocah itu tak berbohong. Bukan sinetron, apalagi demi konten. Bayangkan "nikmat"-nya, benda asing dimasukkan ke hidung Anda. Bukannya geli, benda yang dua kali ukuran cotton bud itu dipaksa masuk, didorong sedalamnya melewati lubang. Sakit, cuy!

Jadi bagaimana, mustinya tak usah datang tes? Tunggu, pikirkan ini. Kesakitan setengah hari setelahnya tak seberapa dibanding virus yang menggerogoti paru-paru, sampai bergantung pada tabung oksigen jika terlambat ditangani. Hayo, susah mana...?

Sedangkan aku, apa urusanku di puskesmas?

Ceritanya begini. Senin sore (7/6), sepulang memberi les, salah satu grup di WA-ku ramai, mengabarkan ibu salah satu teman meninggal. Waktu itu sekitar jam 5 sore. Beberapa teman sudah janjian hendak melayat. Tanpa pikir panjang, aku bergabung. Entahlah, kenapa aku berangkat tanpa bertanya lebih lanjut.

Tiba di rumah duka, tak jauh dari domisiliku. Terbuka bagi pelayat, berarti aman dari kasus Covid. Begitu alam sadarku berbicara.

Bersamaku empat orang teman, semuanya bermasker dan giat melawan Covid-19, patuh prokes. Tidak ada kerumunan, hanya beberapa kerabat dan tetangga. Aku memberi salam namaste pada warga. Tapi siapa sangka, sebagian kami---entah sadar atau tidak, bersalaman dengan teman itu, anak almarhum. Bahkan ada yang pelukan! Gawat.

Mungkin didorong rasa empati berlebih, terhipnotis rasa kasihan, atau spontan. Entahlah, aku berbakat diam, apalagi dalam suasana duka. Setelah mengobrol sekitar 40 menit, kami pamit. Tetap salam namaste. Kali ini tak ada peluk-pelukan.

Tiba di rumah, aku menahan diri untuk menyentuh istri, dan segera mandi. Celakanya, sweater dan celana yang aku kenakan kugantung, tak langsung dicuci. Alasannya, pemadaman saluran PDAM akibat perbaikan jalan ke arah kota. Harus hemat air, hemat pakaian. Sweater ini kupakai lagi keesokan harinya. Ceroboh!

Rabu malam (8/6), salah satu teman yang bareng melayat japri, menanyakan apakah sudah tidur. Ada apa gerangan...? Ternyata... Jenazah dan bapak temanku positif! Jedyaarrr! Bak disambar petir di tengah malam. Besar kemungkinan, temanku dan orang-orang di sekitarnya juga positif.

Kenapa keluarga tidak memberitahu? Mengapa tidak ada otoritas berwenang yang mencegah? Kenapa dibiarkan? Kenapa aku tidak kritisi di awal? Kenapa.... Kenapa...??? (Kecerobohan kedua)

Aku sudah (berani) divaksin tahap pertama, sering mencuci tangan pakai sabun, selalu pakai masker saat di luar rumah, serta tidak berkerumun. Pola makan juga diatur yang sehat-bergizi. Tapi apalah daya, biar sudah susah-susah mematuhi prokes, positif juga...

Minum vitamin, mikir yang happy-happy, dan selalu bermasker. Begitu saran temanku. Gile lu ndro, kontak erat dengan orang positif mana bisa happy-happy...

Info dari temanku, orang Dinkes, ada missed dari pihak keluarga almarhum dan tetangga. Aku tak ingin menyalahkan siapa pun. Justru mengambil perenungan pribadi. Apakah aku sadar resikonya sebelum berangkat...?

Tak perlu meratapi hidup, aku harus mengambil tindakan. Diam, pura-pura pintar atau bicara? Aku pilih bicara. Malam itu juga aku japri kepsek, wakasek guna izin WFH. Aku tak takut dikucilkan, atau membuat kantorku gempar. Toh aku tak kontak erat, tiada gejala. Aku lebih takut kalau tanpa gejala ternyata ketempelan virus, lalu menularkan pada lebih banyak orang. Itu lebih mengerikan, dan menyusahkan. Aku mengikuti nurani, bukan semata logika.

Berikutnya, aku perlu melakukan tes untuk memastikan. Biayanya dari mana? Mana gaji ngepas, kebutuhan kian luas. Lha aku kudu piye? Menyesal karena datang melayat, menyalahkan orang lain? Syukurnya, teman yang bekerja di Dinkes mendaftarkanku untuk tes PCR. Gratis.

Begitulah, aku positif... dites PCR. Semoga hasilnya negatif, amin!

Alih-alih clikbait, aku ingin pembaca belajar dari pengalamanku. Supaya tidak turut ceroboh sepertiku.

Kamis 9/6 jam 8.00 aku dan teman-teman yang melayat diminta datang ke Puskesmas pembantu di dekat domisiliku. Kenapa aku katakan positif? Aku bersama orang-orang baik lainnya masih ada niat baik, mau datang untuk dites. Ada loh manusia yang enggan, bahkan memaki tanpa dosa pada nakes yang menjalankan tugas.

Aku datang belakangan karena masih bertugas melalui Google Meet. Langsung menuju meja pendaftaran, menyebutkan nama dan diberi tabung tempat menaruh sampel cairan tubuh. Aku mengantri, ada sekitar enam orang yang lebih dulu tiba.

Tabung tempat sampel cairan tubuh | foto: KRAISWAN
Tabung tempat sampel cairan tubuh | foto: KRAISWAN

Tentang nakes di puskesmas itu, aku yakin mereka bekerja sesuai SOP. Salah satu yang menangani tes berujar pada tiap pasien, agar memastikan nama dan alamatnya benar. Itu baik. Meski ada juga yang jutek. Saat kutanya kapan hasilnya keluar, dijawab sekenanya sambil menatap HP. Masih muda pula. Entahlah, mungkin dia mulai lelah akibat tingkah masyarakat dan pandemi yang tak kunjung mereda ini.

Dikira para nakes itu tak ingin duduk ngopi, membuat konten Tiktok, nonton Ikatan Cinta atau jalan-jalan ke pantai...?! Dikira pekerjaan mereka santuy seperti PNS? Tidak selalu, ferguso!

Waktu kami dites, ada empat nakes dengan APD komplit. Ada yang memberi brifing, memegangi jika pasien berontak atau panik, ada yang menawarkan tisu, mengambil sampel, dan membersihkan kursi sebelum dipakai pasien berikut. Entah berapa mililiter handsanitizer terkucur guna mencuci sarung tangan karetnya. Tahu rasanya telinga tertarik tali masker berjam-jam kan?

Pesan bagi kita semua, kooperatiflah. Kalau kena tracing dan dapat undangan tes, ya datang. Berjiwalah ksatria! Apa susahnya? Gratis pula. Jangan menjadi manusia egois dan menang sendiri.

Ini masih situasi perang, jangan lengah. Biar sudah divaksin. Meski orang-orang banyak yang kian abai dan mementingkan diri sendiri, tetaplah menjadi baik. Patuhilah protokol kesehatan. Kalau pun sampai (amit-amit) positif, itu bukanlah aib. Mending jujur, segera mendapat penanganan yang tepat.

Percayalah, Tuhan menciptakan kita dengan sistem imun yang baik. Ditambah pola hidup yang sehat, semoga bisa mengalahkan si virus, tanpa harus menularkan pada orang lain. Salam sehat buat kita semua. --KRAISWAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun