Sanggupkah? Bahkan Jokowi sendiri belum tentu bisa menjawabnya.
Pendidikan penting, tapi investasi lebih penting. Seolah-olah itu yang terjadi atas kebijakan merger kementrian. Bagiku, mana tahu sejalan dengan pikiran Jokowi, dengan kondisi sekarang pendidikan tetap jalan. Mau maju, melambat atau di tempat, itu soal nanti. Yang penting jalan.
Bisa gawat kalau investasi seret. Pembangunan bakal lelet. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi nasional, investasi kuncinya, kata Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Kembali ke pendidikan. Mau berkomentar sekritis apa pun, kita bukan pembuat kebijakan, kata pimpinan kantorku. Benar. Tapi, jika kritik satu-satunya yang bisa ditempuh, lakukan!
Optimisme Jokowi yang ditularkan pada Nadiem. Kebanyakan kita sejalan dengan sikap optimis presiden. Tapi, optimis harus melekat pada hal-hal realistis. Supaya tidak nggrambyang ke mana-mana, baiklah kita kritik.
Baru di era Nadiem, UN, untuk pertama kali sejak merdeka dari penjajah, dihapuskan. Sejak di kandang Kemendikbud Nadiem optimis, langkah tepat untuk menyejajari capaian bangsa lain adalah melalui AN (Asesmen Nasional). Tes PISA kiblatnya. Baru dibuat peta kerja dan sosialisasi, kandang Nadiem harus diperbesar kapasitasnya, ditambah kamar riset dan teknologi.
Di sinilah titik optimisme mulai nampak. Siapa kira, nanti para putra-putri negeri ini jadi ahli riset dan penguasa teknologi, yang mana merupakan makanan Nadiem sehari-hari. Apalagi sudah disediakan laboratorium raksasa bernama Badan Riset Inonasi Nasional, digawangi oleh Laksana Tri Handoko.
Pendidikan tak akan sekaku dan selempeng era mbah kakung kita. Pendidikan tetap berjalan, investasi alami pertumbuhan. Siapa tahu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H