Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seni Menikmati Hidup, Berani Bersyukur atau Tidak?

18 April 2021   19:39 Diperbarui: 18 April 2021   21:09 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Direktur Garuda Indonesia ketahuan menyelundupkan barang mewah. Menteri Sosial dan Menteri KKP kena OTT oleh KPK. Gubernur Sulawesi Selatan pun senasib. Terbaru, di Kemendes rame kasus jual beli jabatan. Gubernur Anis, jangan ditanya!

Korupsi menjadi hobi. Tak apa ditangkap polisi, dipenjara rasa di rumah sendiri, duitnya bisa dinikmati. Lagi pula, tak ada undang-undang yang melarang mantan koruptor mencalonkan diri dalam pilkada/ pemilu.

Panik gak? Panik gak?

***

Demikiankah kenikmatan dunia yang akan diwariskan pada anak cucu kita nanti? "Korupsi tak apa-apa, Nak. Banyak temannya." Celaka. Seolah-olah kesempatan hidup hanya untuk kenikmatan dalam dosa.

Senada---tapi berlawanan sama sekali---dengan fenomena di atas, mentorku mengirim pesan malam-malam via WA. Sejatinya beliau suka nulis, hanya mungkin sungkan. Isi pesannya memberi penguatan sekaligus teguran. Bukan tentang sedikit-banyaknya gaji, tapi sikap hidup bersyukur.

Aku tuliskan penggalan pesan mentorku, ya...

Bicara uang atau upah/gaji adalah sensitif serta subjektif banget.... Ada yang masih bujang, sarjana, bekerja dan dapat upah hanya 1,5 jt. Sedikit kan? Tiap hari selalu mengeluh dan kurang semangat kerja. Pinginnya segera pindah pekerjaan yang memberi UMK. Logikanya dia menikmati sendiri 1,5jt itu.

Ada pasang suami istri muda, belum punya anak. Perlu rumah dan segala hal yg menyangkut hidup rumah tangga. Istri tidak bekerja. Sang suami sarjana plus, dengan upah juga 1,5 jt. Tapi... kok bisa hidup berdua. Tidak kelaparan. Malah bisa nabung untuk beli perabot. Logikanya per orang hanya diupah 750rb.

Sedangkan saya, (ingat sensitif subjektif) hidup berlima dengan upah 3 jt. Tidak pernah kelaparan. Masih bisa sesekali makan di resto, nonton bioskop, sesekali anak-anak piknik. Semua sudah pernah pergi dengan pesawat terbang. Hmmm... sombong kan? Bukan!!!

"Kan anda (mentorku) pendeta? Pastilah..." Bukan begitu juga....

Kebanyakan kita sepakat, kesejahteraan ditentukan oleh besaran gaji. Makin besar gajinya, makin sejahtera. Pasti! Tapi... kurang sejahtera apa daftar pejabat tersebut di atas? Adakah mereka makan kurang dari tiga kali sehari, kepanasan-kehujanan tiap pergi-pulang kerja, kesulitan membayar cicilan bulanan...? Tidak. Mereka tak tahu bersyukur! Takabur.

Lanjut pesan mentorku. Justru saya menyadari bahwa uang saya tidaklah cukup, lebih-lebih saya masih menanggung iuran BPJS ibu saya dan ibu mertua, iuran di beberapa asosiasi. Yakin, tidak cukup! 

Saya bisa beli motor meskipun kredit. Pernah jual perhiasan karena harus membayar sesuatu. Pernah menggadaikan barang juga. Tapi saya selalu bersyukur. Semuanya cukup diatur Tuhan. Logikanya per orang dari kami hanya dapat 600rb.

Jadi gini.... Sesuai Mazmur 23 yang jadi pegangan saya, prinsipnya: 1) percaya saja pada Tuhan, 2) bersyukur utk semuanya, 3) berikan persepuluhan untuk Tuhan, 4) berbagilah dengan orang lain. Itu yang saya lakukan. Sesekali lapar... tidak masalah.

Jadi begini... Saya kehabisan kata. Tinggal kita bisa bersyukur atau tidak. Itu saja., pungkas mentorku.

"Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena namaNya." -- Mazmur 23:1-3

Sampai artikel ini dirilis, aku tak paham apa motivasi sang mentor. Dari mana dia tahu gajiku di bawah UMR? Mungkinkah dia bisa membaca pikiranku, mengintip isi dompetku...? Atau untuk menghibur, kebetulan aku senasib dengannya?

Bagaimana hidupku sehari-hari

Dua tahun persiapan menikah, gajiku dibanding calon adalah 1:3. Ya iyalah, Salatiga banding Jakarta. Setelah menikah tak bisa dibandingkan. Maksudnya? Istri bergantung pada gajiku, 1/3 bagian dari yang pernah dia nikmati, kali ini buat berdua. Mana cukup? Apa tidak kelaparan? Masih bisa hidup...?

Beras 5 kg, setidaknya untuk dua minggu. Belanja ikan/ ayam tiap minggu. Menu wajib buah dan sayur, dimasak sendiri. Kalau lagi pengen, jajan ke luar. Pikniknya? Nonton film, dari layar laptop. Membayar cicilan PDAM, listrik, iuran RT, persembahan-perpuluhan, perawatan kendaraan. Sesekali memberi pada sesama. Sering, seminggu sebelum tanggal 15 tak ada lagi yang bisa dibelanjakan. Terpaksa, menerima tawaran ibu, mengambil berasnya.

Sesekali tak apa, daripada kelaparan toh? Kami tinggal di rumah yang dipinjamkan setahun, gratis-tis. Tak bisa menabung untuk bayar kontrakan, boro-boro menyisihkan buat orang tua. Lalu bagaimana?

Baca juga: Hal Paling Sepele Sekalipun Boleh Dibawa dalam Doa

Tetap bersyukur, itu kuncinya. Mudah? Tidak. Lancar? Tak selalu. Bisa? Masih bernapas hingga kini.

Rasa syukur merupakan sebuah seni menikmati hidup. Gaji sedikit dinikmati, gaji banyak jangan tamak. Memang tidak mudah hidup bersyukur, perlu keberanian. Jadi, berani bersyukur atau tidak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun