Pada minggu kedua Maret, kepala sekolahku menyampaikan arahan dinas pendidikan daerah, agar melakukan simulasi PTM (lagi).
Kapan lalu kami pernah melakukan simulasi dengan melibatkan segelintir murid. Ditampilkan tata cara masuk ke lingkungan sekolah, protokol memakai masker dan face shield, cuci tangan, jaga jarak sampai memasuki ruang kelas.
Semuanya direkam lalu diunggah di akun YouTube sekolah. Sehingga bisa memberi gambaran pada siswa lain, jika kelak betulan dilakukan PTM.
Kali ini, bedanya PTM hanya melibatkan siswa kelas 1 dan kelas 6. Sekolah memberikan link Google Form untuk menjaring aspirasi orangtua. Kecuali jika kontak dengan orang positif atau melakukan perjalanan luar kota, otomatis tidak diizinkan ikut.
Mengapa hanya dua jenjang?
Pertama, ini baru simulasi. Cukup perwakilan dari dua jenjang. Kedua, kelas 1 yang sejak pertama masuk SD belum pernah tahu seperti apa gedung sekolahnya. Tak pernah tahu juga apakah guru yang mengajar mereka di laptop nyata atau fiktif.
Untuk kelas 6, perlu dikondisikan karena dalam waktu dekat akan melaksanakan ujian sekolah (UN memang sudah dihapuskan) kemungkinan akan dilakukan luring. Ketiga, dua jenjang yang berbeda jauh jaraknya ini demi membatasi interaksi langsung antar anak-anak.
Pertanyaannya, apakah sekolah (kami) siap?
Siap atau tidak, ya harus siap. Dalam kondisi tak terduga sekalipun, tetap harus siap. Harus siap dengan segala keadaan dan kondisi. Apalagi ini mandat dari dinas, tak ada hak untuk membantah. Sebagai elemen pendidikan yang baik, kami pun menurut.
Awal pekan, dalam briefing pagi, kepsek memberi gambaran umum tentang simulasi yang bakal digelar hari Kamis. Arahan pun dilakukan di play ground pada 17 Maret 2021.