Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dari Barbershop, Buah Jatuh Tak Jauh dari Pohonnya

16 Maret 2021   23:57 Diperbarui: 17 Maret 2021   07:42 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pangkas rambut di barbershop | sumber: Thinkstockphotos via kompas.com

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Peribahasa tersebut mewakili "Anaknya siapa sih ini?!" maupun "Wah... anak siapa ya?" Mau tahu seperti apa ayahnya, tengoklah polah anaknya.

Kalau mau tahu bagaimana orang tua mendidik anaknya, simaklah saat mereka diajak ke tempat umum. Namanya anak-anak, rasa ingin tahu dan hasratnya menggebu-gebu. Itu normal. Menjadi masalah, jika rasa ingin tahunya dipenuhi dengan cara yang salah. Bisa merugikan dan memalukan.

Misalnya menyentuh barang, lalu tersenggol jatuh dan pecah. Harus ganti rugi. Atau mengambil es krim dan langsung membuka dan menyantapnya, padahal belum dibayar.

***

Suatu petang 14/03 di sebuah barbershop. Tiba sekian detik menduluiku seorang bapak muda memarkirkan motor. Diajak serta istri dan anaknya, kira-kira berumur tiga tahun. Si anak mendesak, tidak sabar masuk ke tempat pangkas. (Padahal yang mau pangkas bapaknya)

Didorongnya pintu kaca sekuat tenaga, bertumpu pada bahu kanan. Pintu terbuka, ketiganya masuk. Aku mengekor. Empat juru barber sedang meladeni pelanggan. Antre.

Tak lama, giliran si bapak tiba. Emak-nya duduk tenang sambil mengoperasikan HP. Anaknya---tentu saja---ditemani HP, entah main game atau Youtube. (Kenapa aku mirip mak-mak lambe turah?)

Menariknya begini. Si anak terbilang aktif. Dihampirinya sofa kaki besi yang bisa diputar. Baru saja memarkirkan badan sambil kedua mata fokus pada HP, kakinya memberikan gaya pada meja di depannya. Mulanya aku sibuk membaca di Kompasiana. Sampai meja di depan kami (ada satu bapak berjaket merah di sisi kiri) bergeser tak lagi sejajar alur keramik.

Duniaku teralihkan. Aku menoleh ke arah meja, sekaligus ke sumber gaya. Ini anak kok kurang sopan ya... "Dek...", hanya sepenggal kata itu dikeluarkan emak-nya, lalu kembali pada HPnya. (Aku tebak, si ibu juga sedang asyik membaca artikel di Kompasiana, kanal lyfe)

Bagiku, polah si anak kurang etis. Betul, dia masih anak-anak. Demi duduk nyaman di kursi orang dewasa, kakinya diajak bekerja keras. Tapi ada emak-nya di sana. Apa ia tak pernah diajari sopan-santun di tempat publik? Bapak jaket merah duduk lebih dekat si anak, pasti ia pun terganggu.

Kelak jika aku punya anak, akan kuajari etika di ruang publik. Jika Tuhan berkenan, aku bahkan ingin mendorong anakku belajar sejak dini dari hal-hal di sekitarnya. Bagaimana cara duduk, aturan memainkan HP dan memperhatikan orang di sekitar.

"Kalau bertamu, jangan duduk sebelum dipersilahkan... Jangan ambil makanan sebelum dipersilahkan, meski sudah disuguhkan. Belajar menahan diri." -- bapak & ibu

Pesan itu terus aku pegang. Biar di rumah saudara sekalipun. Kalau belum dipersilahkan, takkan mengambil hidangan di meja.

Seorang anak laki-laki, mungkin kelas 5 SD (10 tahun) selesai. Giliranku tiba. Dia menuju tempat cuci, lalu dipijat dan disisir. Ke meja kasir juga sendiri. Dihampirinya pria berjaket merah---yang sedari tadi berdiam diri melipat kedua tangan---di kiriku tadi, lalu bersama keluar. Mungkin ayah, atau kakaknya.

Dari dua anak di tempat pangkas itu, tahu bedanya?

Usianya, jelas! Anak pertama masih balita, lainnya sudah SD. Yang SD lebih tertata, berani membayar sendiri ke kasir. (Sayangnya, aku tak menangkap apakah anak itu mengucap terima kasih atau tidak) Aku yakin, anak SD itu tak akan bisa begitu kalau tak diajari.

Jika seorang anak diajari tata krama, seiring berjalannya waktu ia akan menjadi pribadi mawas, tidak grasah-grusuh. Tahu menempatkan diri di tempat umum. Si orang tua cukup melipat kedua tangan. Bisa jadi, dia sudah 'berdarah-darah' di rumah. Jadi tak perlu drama di ruang publik (macam keluarga Cikeas). Mempercayakan si anak sesuai porsinya. Tak perlu keluar kata "Dek..."

Perbandingan di atas tidak seimbang. Benar. Tapi, anak yang dibesarkan dengan pembiaran, tidak diajari tata krama, saat besar bakal semaunya. Memberi kelonggaran "Kan masih anak-anak", dengan mengajari sejak dini jelas beda!

Ayah kencing berdiri, anak kencing meloncat. Jika seorang ayah berbuat buruk, bakal ditiru anak-anaknya dengan perilaku jauh lebih buruk.

Aku tidak mengatakan orang tua anak yang mengantre bareng aku tidak mengajarkan hal benar. Mungkin  kurang telaten. Bayangkan, seperti apa dia saat dewasa jika terus dibiarkan dan tidak menemukan figur teladan.

Kesan lebih buruk dialami seorang warganet. Ini kejadian lama, tapi relevan dengan pengalamanku di tempat pangkas.

Anak tidak sopan di kereta, membuat warganet gemas | sumber: Instagram/ @hayhayhaya via nakita.grid.id
Anak tidak sopan di kereta, membuat warganet gemas | sumber: Instagram/ @hayhayhaya via nakita.grid.id

Seorang warganet @hayhayhaya membagikan keluhan ketika di dalam kereta. Tidak masalah penumpangnya siapa, anaknya siapa, selama membayar tiket dan tahu aturan. Yang jadi masalah dan lalu melahirkan sungut-sungut manusia normal adalah perilaku beberapa anak.

Aturan di kereta jelas: dilarang duduk di lantai, apalagi memanjat. Dua anak gadis menggelesot tanpa beban di lantai kereta. Dikira teras rumahnya kali. Lebih menggemaskan, seorang spiderman menyamar menjadi bocah laki-laki, tak jauh dari dua gadis itu duduk. Menginjak sandaran bangku, lalu berpegang pada besi penyangga barang, di tepi jendela. (sumpah, bajunya beneran spiderman!)

Tidak etis. Begajulan. Berbahaya. Mengganggu kenyamanan penumpang lain. Ibunya diam saja, lalu berkata "maklum namanya juga anak2..." Maklum mbahmu kipper!, timpal @hayhayhaya. Nah, ikut gemas kan?

Lebih lanjut, "ga punya manner gini ini yg bikin kita ga bisa ngehargai dan dihargai... ga diajarin antri, ga diajarin ga boleh treak2, maklumin aja terus sampe akhirnya bikin malu atau bikin celaka". Nyelekit. Ada benarnya. Permakluman yang menerus pada perilaku tak tahu tata krama bakal membuat malu atau celaka di kemudian hari.

Menutup kejengkelannya, si warganet menyimpulkan dengan perintah "please lah.. kalo emang ga bisa ngedidik anak mending ga usah berkembang biak" Pedas! Tajam. Perih. Anak anak orang, kenapa warganet yang nyinyir ya? Kalau bikin anak tapi tak bisa mendidik lalu menyusahkan orang lain ya wajar warganet mengomel.

Akhir kata, menjadi orang tua memang tidak mudah. Apalagi mendidiknya. Tapi, pembiaran karena "masih anak-anak" tidak memberi manfaat apa pun. Minimal, izinkan anak berpikir, tempat umum bukan miliknya pribadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun