Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Langkah-langkah Kecil Melawan Sampah Plastik, dari Cup Es Krim sampai "Sekolah Sampah"

12 Maret 2021   01:25 Diperbarui: 12 Maret 2021   11:09 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Botol minum dari bambu | sumber: toistudent.timesofindia.indiatimes.com

"Tak dipakai ekonomi mati, dipakai lingkungan yang mati." Plastik, simalakama

Kapan lalu seorang teman mengunggah 'cerita' di WA, tangkapan layar pencarian di Google tentang masalah sampah. Teman itu guru agama, bukan lulusan kesehatan lingkungan. Bukan pula aktivis lingkungan. Akunya, dia manusia peduli lingkungan.

Beberapa hari sebelumnya, aku membimbing mendampingi seorang murid berpartisipasi lomba menulis yang diselenggarakan Greeneration Foundation bekerja sama dengan Unilever bertemakan "Semangat Melawan Sampah di Sekitar Kita". Ditambah men-scroll beberapa unggahan di Instagram, lalu lahirlah artikel ini.

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wamen LHK) Alue Dohong berujar, pekerjaan rumah di Indonesia masih sangat banyak. Jumlah timbulan sampah nasional pada 2020 bahkan mencapai 67,8 juta ton! (idntimes.com) Wiii...

Anda tentu tak asing dengan berita ikan paus makan sampah plastik, hidung kura-kura tersumbat plastik, atau seekor buaya terjerat ban bekas. Belum cukup, mikroplastik yang mencemari lautan, lalu termakan ikan, lalu manusia memakan ikan tersebut. Anda terganggu dengan ini?

Kekonyolanku seputar plastik pernah aku ceritakan di sini. Sebenarnya, jalan keluar paling simpel dari masalah plastik ini adalah menutup pabriknya. Selesai perkara. Tapi berapa ribu tenaga kerja yang bakal kehilangan nafkah karenanya? Tak terbayangkan banyak sektor runtuh sejadinya jika tanpa material plastik. Serba susah bukan?

Sebelum pandemi, masalah sampah plastik menjadi PR besar bagi manusia. Belum lagi mereda, tambah kusut dengan sampah masker sekali pakai. Tidak dipungkiri, masker salah satu APD demi mencegah penularan virus Corona (kecuali kelompok anti vaksin). Tapi, berikutnya menjadi problema baru: penghuni lautan.

Bisa jadi, sampai pandemi selesai (amin!) perihal persampahan ini belum juga usai. Daripada mengutuk kegelapan, mari nyalakan pelita. Ada langkah-langkah, yang terkecil sekalipun, untuk membuat perubahan. Berikut ini semoga menginspirasi.

"Belum selesai masalah sampah plastik, datang sampah masker. Sejatinya kita kalah oleh sampah. Kecuali menolak untuk menyerah" --kraiswan

1# Stik Bambu, Cup Daun Pisang. Anda suka makan (atau minum?) es krim? Ada beragam kemasan es krim di pasaran. Dari batangan dengan stik dan pembungkus plastik, contong yang dapat dimakan, sampai gelas dan sendok plastik. Aku menyoroti yang terakhir.

Raya Ghosh menulis dalam India Today, sangat penting untuk menciptakan keberlanjutan lingkungan dengan rasa hormat pada perubahan global terkini. 

Diplomat Norwegia, Erik Solheim mengunggah gambar gelas es krim yang terbuat dari daun pisang dan menjadi viral di internet. (indiatoday.in) Ini adalah sebuah pilihan yang ramah lingkungan, pungkasnya.

Bahkan, berat untuk mengakui, Indonesia kalah jauh dari (negara yang tidak lebih besar seperti) Thailand dalam kesadaran penanganan masalah sampah. Supermarket di Thailand sudah menerapkan kemasan sayuran yang ramah lingkungan, yaitu daun pisang. 

Tidak, anda tidak salah dengar. Daun pisang. Mereka lebih kreatif, dan peduli dibanding kebanyakan kita. Miris, tapi itulah fakta. Mungkin Indonesia harus mengimpor daun pisang dulu...

Sedikit hiburannya, nenek moyang kita lebih dulu memakai daun pisang sebagai bungkus lemper, lontong dan penganan tradisional lainnya.

Pembungkus sayuran di supermarket Thailand | sumber: forbes.com/ Perfect Homes Chiangmai
Pembungkus sayuran di supermarket Thailand | sumber: forbes.com/ Perfect Homes Chiangmai

2# Botol Minum dari Bambu. Kita pasti populer dengan tumbler (tempat minum) dari plastik. Ringan, beragam, murah dan mudah dibawa. Lagipula botol minum plastik bukan barang sekali pakai yang berkontribusi pada sampah yang mencemari lingkungan. Tapi, plastik tetaplah plastik. Tak dapat diuraikan.

Botol minum dari bambu | sumber: toistudent.timesofindia.indiatimes.com
Botol minum dari bambu | sumber: toistudent.timesofindia.indiatimes.com

Adalah Bamboo and Cane Development Institute (BCDI) di Tripura, India. Negara dengan populasi 1,37 milyar jiwa (kedua setelah Cina), tak hanya menjadi inovator dalam dalam teknologi, tapi juga dalam penanganan sampah. Produsen botol minuman dari bambu itu menjadi pusat perhatian setelah aktris Bollywood Raveena Tandon memesannya. Ini alternatif yang hebat untuk menggantikan botol plastik. Brilian!

3# Masker Abaka. Seperti keresahan temanku di atas, masker sekali pakai---seperti namanya, "sekali"---hanya berfungsi satu kali, lalu menimbulkan masalah. Hal ini dikarenakan masker medis terbuat dari material plastik yang sulit terdegradasi.

Sebuah perusahaan asal Filipina melakukan inovasi menciptakan masker dari serat daun abaka yang mudah terdegradasi. Menurut Department of Science and Technology Filipina, masker abaka jauh lebih baik dari masker N9 dan kualitasnya mendekati masker medis serta menyerap hanya 3-5% air. Bandingkan, masker N95 yang daya serap terhadap mencapai 46%. (Instagram/ greenerationid)

Perbandingan daya serap masker abaka, N95 dan masker medis | sumber: Instagram/ greenerationid
Perbandingan daya serap masker abaka, N95 dan masker medis | sumber: Instagram/ greenerationid

Tanaman abaka (Musa textilis Nee) termasuk salah satu tanaman pisang yang tidak dimanfaatkan buahnya, melainkan diambil seratnya dari batang semu. Pada awal abad 16 penduduk asli daerah Cebu, Filipina memanfaatkan serat abaka sebagai bahan pakaian tradisional. (balittas.litbang.pertanian.go.id)

Pohon abaka/ pisang manila | sumber: The American Cyclopdia, Wikipedia
Pohon abaka/ pisang manila | sumber: The American Cyclopdia, Wikipedia

Owalah... serat pohon pisang toh... Kalau begitu, Indonesia juga bisa mengolahnya! Kalau bisa ngimpor, ngapain ngolah? #tepokjidat

Sejak dulu, serat abaka populer secara komersial dalam bentuk produksi tali dan jaring ikan. Bahkan, pemerintah Amerika Serikat memanfaatkan serat abaka untuk bahan pembuat uang kertas dolar, karena seratnya tidak getas, tidak mudah putus, punya tekstur yang baik, mengilap, awet, lentur serta tahan salinitas.

Pohon dan serat abaka | sumber: boombastis.com
Pohon dan serat abaka | sumber: boombastis.com

Masih dari laman IG Greeneration Foundation, menurut keterangan eksportir abaka kepada Bloomberg, beberapa pabrik APD dari Cina, India dan Vietnam sudah mulai memesan kain abaka selama pandemi. Ini berarti material yang ramah lingkungan ini mulai diminati negara-negara.

4# Coconut Shool. Meski secara harfiah coconut berarti kelapa, sekolah ini tidak ada hubungannya ke sana. Sekolah ini didirikan dengan material sampah. 

Adalah Ouk Vandey, pendiri sekolah di Kamboja yang desain dan tata letaknya berbahan sampah. Sekolah gagasan "Rubbish Man", sebutan untuk Vandey, ini terletak di Taman Nasional Kirirom, Provinsi Speu, Kamboja. (Instagram/ greenerationid)

Ouk Vandey, pendiri Coconut School | sumber: coconutschool.org
Ouk Vandey, pendiri Coconut School | sumber: coconutschool.org

Melansir dari coconutschool.org, CSF (Coconut School Fondation) membuat inovasi pembiayaan sekolah dengan program "Trash to Tuition" (terjemahan bebas: sampah untuk bayar sekolah) untuk memberikan setiap anak di pedesaan Kamboja akses pendidikan gratis. Mereka bekerja sama dengan relawan lokal dan internasional untuk mengajar anak-anak di daerah terpencil.

CSF memiliki tiga misi yakni Saving Children (menyelamatkan anak-anak), Saving Planet (menyelamatkan planet) dan Care & Protection (perawatan dan perlindungan).

Keprihatinan si "manusia sampah" lahir dari keberadaan sampah di negaranya. Banyak wisatawan yang membuang sampah sembarangan di tempat wisata. Di saat bersamaan, banyak anak kecil dari keluarga tidak mampu yang menjadi pengemis di jalanan.

Anak tidak mampu + sampah melimpah = sekolah. Brilian! Dengan membayarkan sampah, anak-anak bisa belajar tentang komputer, matematika, dan bahasa---tiga kemampuan dasar untuk bertahan hidup di abad ini. Melalui Coconut School ini juga Vandey mendidik para muridnya untuk peduli pada lingkungan. Berharap suatu kelak mereka akan menjadi aktivis lingkungan.

5# Masker Kain. Keempat daftar di atas dirasa terlalu sulit dilakukan? Lalu, tidak adakah sesuatu untuk ambil bagian? Tenang, dunia tak seluas biji melinjo. (hubungannya, jek?) Paling gampang untuk mengurangi sampah plastik, khususnya masker bekas, yakni memakai masker kain yang bisa dicuci dan dipakai lagi.

Malas mencuci? Ya sudah, ke matahari saja! Inilah penyakit kita dari generasi ke generasi. Maunya segala sesuatu yang murah, praktis dan hanya berorientasi pada diri sendiri, dan hari ini. Tak mau pusing dengan manusia di negeri seberang boro-boro generasi mendatang.

Susah bukan berarti mustahil. Pilihan ada di tangan kita. Mau menyerah dan terus menghasilkan sampah, atau berbenah lalu membuat lingkungan berubah.

Kraiswan, Salatiga 11 Maret 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun