Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inilah 3 "Derita" Saat Pulkam, tapi Ngangenin

16 Desember 2020   20:40 Diperbarui: 16 Desember 2020   21:01 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pulang kampung, foto: merdeka.com via telisik.id

Ke mana pun kaki melangkah, yang paling dirindukan, tak bisa tidak dipenuhi adalah pulkam (pulang kampung). Home sweet home, istilah orang barat.

Semasih berkarya di Surabaya, aku wajib pulkam minimal sebulan sekali. Entah ada nikahan atau wisuda teman, reuni, atau sekedar kangen ibu. Dua tahun berselang aku tak perlu pulkam. Mau bagaimana, wong tiap hari sudah di kampung.

Seiring waktu berjalan aku pulang kampung lagi, kampungnya calonku. Lebih kampung dari kampungku (kalau ukurannya infrastruktur, luas lahan dan akses barang kebutuhan). Gunung Purba, Kecamatan Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, salah satu daerah di Sumatra Utara, kampung calonku. Sudah dua kali ini aku datang.

Kata orang, rezeki dan jodoh semua di tangan Tuhan. Aku percaya. Tapi aku juga yakin, manusia diberi porsi untuk berusaha. Aku mengerucut pada topik jodoh.

Tak pernah terbayangkan olehku akan bersanding dengan Orang Batak. Tapi kalau sudah jodohnya, bagaimana lagi? Ini bukan ekspresi pasrah atau "adanya ini", tapi buah dari doa dan pergumulan panjang, yang rencananya mau diceritakan dalam buku, entah kapan naskahnya dibuat.

Stigma umum tentang orang Batak, orangnya galak, tuturnya lantang. Kalau mau menikahi boru (gadis)-nya, sinamotnya mahal. Ada benarnya, namun tak perlu menutup diri. Banyak Orang Batak yang sudah diubahkan, lebih fleksibel pola pikir dan temperamennya.

Baca juga: Namaku Sumbayak, Prosesi Pemberian Marga dalam Adat Batak

Untuk keperluan meminang boru Batak itulah aku pulkam, berikut tiga 'derita' beserta.

1. Tidak bisa Tiap Hari Ganti CD

Bukan hal jorok atau amoral ya. Begini, stok CD lumayan banyak di kampung sendiri merestuiku ganti CD sehari sekali. Selesai mandi ganti, sekalian dicuci. Di kampung calonku, tradisi itu sulit dijalankan. Pertama, tidak semua stok aku bawa. Kedua, tidak cukup tempat jemuran karena ditambah pakaianku dan calon.

Ketiga, cuaca dingin di Gunung Purba membuat pakaian dicuci lama keringnya. Nah, daripada kehabisan CD, mending dihemat. Ganti dua hari sekali. Aktivitasnya diatur supaya tidak banyak mengeluarkan tenaga lalu berkeringat. Agenda sehari-hari paling di rumah, bercakap dengan kerabat calon, sesekali membantu beberes rumah. Tapi kalau mandi minimal sehari sekali kok, hehe.

2. Dinginnn...

Kampungku, Watuagung, Kec. Tuntang berdiri di sisi perbukitan Watuagung. Hawanya sejuk menenangkan. Akibatnya, tiap pagi wajib mandi pakai air hangat. Meski begitu, kalau tidak sedang penghujan aman tidur tanpa selimut.

Di Gunung Purba, wajib pakai selimut jika tidak mau menggigil tak bisa tidur. Selimutnya lebih tebal, dua kali lipat dari selimut di rumahku. Tak heran, tiap ke Gunung Purba aku diminta makan banyak-banyak. Supaya tidak cepat lapar. Sudah begitu, mustahil bangun lebih awal.

3. Makan Bersama-Cucian Berlimpah

Salah satu kesenjangan budaya keluargaku dengan calon adalah saat makan. Di kami, tiada tradisi makan bersama. Siapa yang lapar dan longgar, boleh makan duluan. Apalagi ritme hariannya berbeda satu sama lain. Paling banter, misal jajan mi ayam dibungkus dimakan di rumah, barulah makan bersama.

Di keluarga calonku, makan bersama wajib hukumnya. Sebelum semua anggota keluarga berkumpul, tidak ada yang mulai makan. Tak soal kalau makanan sampai dingin. Bagiku, tak ada yang paling baik atau tidak baik. Lain ladang lain ilalang.

Aku melihat secara positif. Kalau di rumah, mau makan lebih fleksibel. Hal lumrah dalam lingkup Jawa, setidaknya di sekitarku. Jadi tidak harus kelaparan karena menunggu anggota keluarga yang lain. Seperti bapak ibuku misalnya, berprofesi buruh, kerjanya seharian. Sedangkan aku dan adik bisa pulang tengah hari. Mustahil untuk makan bersama.

Sedangkan kalau di keluarga calon, kompak satu keluarga. Mau makan besar atau kecil, mewah atau sederhana hanya dengan ikan asin (menu wajib dalam rumah calonku) dibagi dan dinikmati bersama. Dari keduanya, aku belajar agar makin adaptif, tahu menempatkan diri.

Di Jawa, makanan sangat jarang disajikan prasmanan. Ambil dari meja makan, ditaruh langsung di piring masing-masing. Tiap orang mengambil sesuai daya tampung perut. Lain lagi di Medan. Makanan disajikan prasmanan. Nasi, olahan daging, sayur, sambal, ikan teri, kerupuk, dihidangkan di tiap wadah. Jadi orang bisa mengambil, nambah sesuai selera.

Akibatnya cucian menumpuk. Kalkulasikan saja saat keluarga besar berkumpul. (Rata-rata Orang Batak minimal 4 bersaudara ditambah istri dan anak-anak) Makan kenyang, nantinya kerja keras buat mencuci. Anak perempuan yang bakal 'panen'. Meski begitu, aku yang diajari mandiri dan pernah kerja di kafe, tak membiarkan calonku kerja sendirian. Sebisanya membantu. Pencitraan.

Begitulah 'derita'-ku saat pulang kampung, tapi yang menyebabkan ngangenin. Bagaimana pengalaman anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun