Penggalan lagu Natashia Nikita itu mengingatkanku, sekalipun tak pernah diminta, meski aku lupa mengerjakan; ibu pasti mendoakanku. Ibu tak cakap bicara, mengajari doa buat dihafal boro-boro. Soalnya ibu tak pernah kenal bangku kelas. Tapi dalam "kelimpahan" itu, ibu mengingatku dalam doanya. Bukti bahwa dalam keterbatasannya, ibu tahu ke mana harus membelakan perkaraku.
Doa juga jadi pengakuan, orang tuaku yang terbatas mustahil menyelesaikan semua persoalanku. Tentang pelajaran di sekolah, barang keinginan, cita-cita, bahkan kelak dalam memilih pasangan hidup. Tapi ibu mengajari, ada tangan lebih berkuasa menolong melewati setiap musim hidup. "Berdoa, minta kepada Tuhan, pasti Dia menolong", begitu ibu mendorong.
Kebiasaan doa memancarkan hidup jujur. Dari yang paling sepele saja. Misal ada uang di meja, tidak boleh diambil atau dipakai jajan sebelum diberikan. Kalaupun kebelet, harus bilang. Tidak boleh mencuri. Harus jujur!
Itulah yang menolongku untuk tidak berkompromi dengan korupsi, sekecil apa pun. Tak perlu pandai setinggi langit, yang lebih penting jujur! Jangan ambil sesuatu yang bukan milik.
Tak mengapa ibunya tak pernah mengenyam sekolah, syukur anaknya lulus sekolah
2. Jangan menyakiti anak orang
Tidak seorang pun mau disakiti, maka jangan sekali-kali menyakiti.
Dalam banyak urusan aku terbilang payah, tapi tak sudi menyerah. Olahraga, musik, akademis; lewat! Maksudnya tak menonjol satu pun, termasuk asmara. Naksir lawan jenis adalah wajar. Ditolak berulang serta diremehkan juga biasa. Meski sering sakit hati, tak ada niatan balas dendam.
Ibu tahu bahwa jiwa mudaku merana. Supaya tidak kebablasan, ia pun berpetuah. "Kamu kalau suka perempuan jangan disakiti ya. Orang tuanya menyekolahkan sungguh-sungguh biar berhasil, kelak membanggakan orang tua. Kamu juga punya adik perempuan. Bayangkan kalau adikmu disakiti orang lain, apa ndak kasihan sama ibu?"
Pesan tersebut cukup menolong agar aku tak ke luar "pagar". Sedang di sekitar kami, hal itu dianggap lumrah.