Siapa bilang mengajar daring itu lebih enteng? Walau ngantor-nya setengah hari dan tidak dibebani kehadiran murid, tapi beban mentalnya berlipat kali ganda.
Sejalan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, pembelajaran daring adalah keniscayaan. Namun, tak seorang pun mendambakannya dalam situasi pandemi di mana kesehatan, perekonomian dan pendidikan terkena dampak.
Satu sisi kita berduka karena ini bencana global. Di sisi lain kita bersyukur Tuhan mengizinkan pandemi saat jaringan internet lebih mudah di akses. Setidaknya di sebagian besar daerah di Indonesia. Bayangkan seandainya virus Corona menyapa saat warnet masih jaya-jayanya....
Prediksi atau klaim tentang kapan pandemi memuncak, atau vaksin ditemukan; tidak seorang pun bisa menjamin, WHO sekalipun. Daripada meratap sebagai "korban" janji palsu, lebih bijak hidup dengan mental, budaya dan kebiasaan baru.
Kita mulai melangkahi pintu rumah untuk bekerja dan beribadah. Anak-anak, biarkan belajar dari rumah. Meski sebagian daerah sudah "lolos uji" mengadakan pembelajaran tatap muka. Mereka yang belajar dari rumah merasa bosan, iya. Frustasi, sangat mungkin.
Orang tua melalui mak-mak mewakili anaknya, "...sudah tidak sabar ingin belajar ke sekolah" Bagaimana pun, inilah peperangan kita melawan Corona. Ada yang di dalam, juga di luar rumah. Tugas kita terus bersehati dan saling mendukung.
Pertengahan pekan lalu, setelah "bisul" perangkat penilaian akhir semester pecah (hanya di sekolah kami atau fenomena umum bahwa menyiapkan perangkat penilaian daring lebih berat?), pimpinan sekolah melalui wakilnya menyampaikan arahan. Di sini kami seperti "ditampar". Sakit, tapi sedikit menolong.
Pembelajaran daring adalah hal baru bagi murid, orang tua juga guru. Semua harus mempelajari perangkat, sistem dan model pembelajaran baru. Untuk itu perlu evaluasi supaya ke depan kualitas lembaga kian membaik. Evaluasi juga diperlukan untuk membeberkan titik buta (blind spot) yang selama ini kita tidak pernah tahu.
Cara mengajar, menegur dan mendidik; pakai kalimat yang mudah dimengerti publik
Belajar tatap muka saja (murid) sulit diatur, apalagi jarak jauh? Demikian keluh saya pada rekan guru suatu kali. Ini fakta tak terbantahkan tentang kondisi murid SD, apalagi swasta. Tapi ada kepentingan lebih mulia dari sekedar mengatur murid sesuai standar, yakni keselamatan bersama.
Prinsip, disiplin dan tata tertib dijalankan sebagaimana seharusnya, meski tidak seideal tatap muka. Setuju. Itulah sugesti sekaligus motivasi yang menolong kami tetap waras.
Ada saja tingkah anak yang kian kreatif dalam pembelajaran jarak jauh. Masalahnya, kreativitas ini cenderung negatif kalau tidak dikatakan menghindari tanggung jawab. "Miss/mr, mik saya eror", demikian obrolan di kolom komentar Google Meet.
Bagi sebagian murid, mikrofonnya beneran eror. Saya pun pernah mengalami sekali dua. Faktor perangkat elektronik. Tapi, jika erornya tak kunjung "sembuh", menjadi curiga. Biasanya itu senjata mereka melawan mapel "momok" atau alasan kemanusiaan sejenis, kabur saat guru menjelaskan misalnya. Kameranya dinonaktifkan, jadi tidak tahu hadir di depan layar atau di tempat lain. Merdeka!
Beragam tingkah ini tak jarang menjebak guru untuk menegur dengan cara kurang terpuji. Misalnya saat ulangan, ada murid yang berkali-kali menanyakan tautan untuk mengerjakan padahal sudah diberikan di kolom komentar. Ada yang tetiba keluar Meet karena jaringan eror.
Atau ada anak yang sangat teliti menanyakan, "Ini selesainya jam berapa?" padahal pembelajaran sekian bulan, Senin-Jumat jam pembelajaran sama. Pengen emosi rasanya. Sabar, sabar...
Murid adalah manusia, dan guru ialah makhluk yang jauh dari sempurna
Sejatinya pembelajaran daring memiliki kelebihan, salah satunya akses terbuka luas untuk publik. Ada rekaman pembelajaran yang bisa diakses berulang termasuk oleh orang tua/ wali murid. "Sekaligus untuk promosi sekolah kita", kata sang waka.
Benarlah. Cara kami mengajar merepresentasikan kualitas sekolah kami. Seyogianya, digunakan kalimat yang mudah dimengerti dan diterima semua kalangan. Berat, kan...?
Hindari cara-cara yang tidak efektif
Poin kedua tak kalah berat. Dalam tatap muka, kalau ada murid tidak mengerjakan tugas atau tidak tertib, lebih mudah diambil tindakan. Tapi kalau daring? Ngalamat. "Salahkan" mikrofon dan kamera, guru pun tak berkutik.
Kalau murid bilang kamera eror, tidak merespons dalam obrolan saat ditanya, atau ada yang memberi komentar tidak berkaitan dengan pembelajaran atau yang selalu protes karena jamnya sudah kelebihan padahal guru sudah meminta izin menuntaskan materi... Solusi yang nampak paling ampuh adalah.... Ancaman. Nilainya akan dikurangi, dikeluarkan dari kelas atau "Kalian yang diam atau miss/mr?..."
Orang biasanya takut pada ancaman, bukan? Ancaman juga membuktikan siapa yang lebih berkuasa dalam lingkup tertentu. Tapi, dalam konteks sebagai pendidik, ancaman tidak dibenarkan. Ancaman adalah jalan penjajah, sedang kita sudah merdeka secara harfiah. (Meski faktanya kita masih terjajah virus Corona) Lalu harus bagaimana? Ya tabah!
Biar berat tak lantas mustahil, bukan? Ngopi dulu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H