Satu satu, aku sayang ibu | Dua dua, juga sayang ayah | Tiga tiga, sayang adik kakak | Satu dua tiga, sayang semuanya
Menyanyi sambil berhitung, mengingat anggota keluarga serta mengajarkan kasih sayang. Kemampuan istimewa yang membuatmu layak mendapat hormat dan puji semua orang.
Kaulah orang tua di sekolah, meneruskan estafet pengasuhan di saat ayah dan ibu kami menghimpun rezeki. Sehebat-hebatnya mereka, padamu ada yang tidak mereka miliki, yang kau baktikan pada kami.
Kau yang mengajariku baca-tulis. Kau yang menyalakan terang dalam pikiran. Berkatmu aku bisa berhitung. Tanpamu, aku masih terjajah kini.
I N-I NI, INI | B-U BU D-I DI, BUDI... Sosok yang kau perkenalkan pada kami, Budi dan anggota keluarganya jadi populer.
Kau adalah manusia paling tulus. Waktu, tenaga, ilmu, dan perhatian; semuanya kau beri. Sepanjang hidupmu kau relakan demi menjadikan kami terampil. Pengabdian yang takkan bisa dikonversikan apa pun, apalagi uang.
Kau anak tangga yang mengangkat kami lebih tinggi, melebihi tempatmu saat ini. Kelak, jika kami menguasai teknologi, kau tak pernah mengharap pengakuan. Biar kami mungkin melupa, goresan kasih pada loh hati mustahil sirna.
Orang tua kami juga berterima kasih, turut diajar olehmu, pahlawan tanpa tanda jasa. Kau isi hari-hari kami dengan ilmu sarat manfaat. Tanpamu, sungguh kami tersesat.
***
Di dalam ruangan 6x4 meter, gelap, pengap dan sempit, "Sebutkan nama pohon yang dipakai Nabi Yunus berteduh...", saking lambatnya kecepatan akses otak kami, "Kalau dari sini (tempatmu berdiri) ke situ (tempatku berdiri) namanya apa?" "Jarak!", seru salah satu kami kegirangan mengalahkan virus bernama kelambanan.
Kau membuat diktat dengan tulisan tangan yang lebih rapi, tegas dan jelas melebihi mesin tik yang berisik. Kau memberi ekstra pelajaran sepulang sekolah meski tanpa tambahan upah. Semua demi satu tujuan, agar kami lulus ujian. Betapa bangganya dirimu jika tiada kami yang tertinggal.
Berkatmu, kini aku di bangku SMP. Bagi bapak ibu kami, menemukan formula keseimbangan "pasak" dan "tiang" saja pusing. Tak mampu mereka mengajar Sistem Persamaan Linear Dua Variabel sepertimu. Dengan ibu jari dan telunjuk, kau hipnotis kami pada angka dan huruf yang dijumlahkan menjadi angka lain yang sama sekali berbeda, tak nampak hubungan darah yang merekatkan mereka.
Jenggot dan jambang menyatu tak membenarkan kau kejam atau bengis. Suaramu membahana hingga ke lapangan paving tak lebih luas dari tempat parkir swalayan seberang jalan. "Tenses penggunaannya berbeda-beda menurut...?" Disebabkan senyap ibarat kau satu-satunya penghuni, sabar kau mengulang tanpa mendongkrak intonasi.
"...Penggunaannya berbeda-beda menurut...??" "Waktunya!" sergah salah satu kami demi menyelamatkan umat. Tak peduli jika ngawur. "Bagus!" Begitu pun sudah membuatmu lega. Teriakmu takkan sia-sia.
Dan wah... lihatlah, tiga tahun bagai tiga minggu saja. Kini aku berseragam putih abu-abu. Aku sudah makin besar, dan pintar.
Kau mengajari kami berwirausaha. Kau suruh kami mengunjungi kerabat, tetangga atau siapa pun yang punya usaha. Kami harus mewawancara tentang bahan baku, cara produksi dan segala macamnya sambil direkam. Ini pasti jadi bekal berharga.
Kau utus kami praktik lapangan. Mengunjungi petani salak. Kami harus minta bibitnya untuk ditanam di sepenggal lahan belakang laboratorium. Perkembangbiakan vegetatif.
Kau dorong kami jadi berani. Entah besok jadi penyanyi atau juru mimpi, kami harus praktik menyanyi. Tanpa teknik atau teori yang tinggi-tinggi, kau longgarkan kami memilih lagu sendiri. Dengan mikrofon, TV dan pemutar kaset, kami harus tampil di depan teman-teman dalam ruang serba guna. Meski kau tahu getar tenggorok kami lebih merdu ketika diam, kau tetap mendengar kami.
***
Terima kasih, guruku. Semua kerja keras kau lakukan tulus-ikhlas. Kutahu, bahan bakar yang tak pernah kosong darimu adalah semangat. Semangat untuk membentuk kami lebih baik ketimbang orang tua kami. Agar kami terentas dari kebodohan. Supaya kami merdeka.
Kini, sebagian muridmu merasa apa yang kau alami. Mengajar mungkin semua orang bisa lakukan, tapi lebih dari mereka kau mendidik kami. Kau yang terus setia mengawal generasi setelah kami.
Lebih berat di masa pandemi virus Corona karena terhalang jarak, bergantung koneksi internet; tapi jiwa dan semangatmu tak pernah terpasung apa pun. Mari guruku, terus kobarkan semangat untuk memerdekakan generasi bangsa.
Selamat Hari Guru Nasional 2020, Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H