Hari masih pagi, wakil kepala sekolah (wakasek) menghampiri berbekal selembar kertas.
"Mr. Kris", bernada serius tapi senyum ramah, "Ini ada lomba menulis dari dinas, mr. Minta tolong mr membimbing murid kelas 5, ya." Menyerupai perintah daripada minta tolong.
Aku suka menulis, iya. Punya blog pribadi, betul. Tapi membimbing lomba menulis...? Apa tidak ada yang lain?
Pemerintah Kota Salatiga melalui Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (dinpersip) Salatiga mengadakan lomba menulis bertajuk "Konten Lokal Salatiga" Di sinilah "kesalahan" wakasek yang kedua. Saya lahir dan tinggal di Salatiga (kabupaten). Mana mungkin bisa membimbing lomba menulis tentang Salatiga?
Seperti biasa, pemerintah khususnya dinas pendidikan gemar metode tahu bulat. Surat tertanggal 16 Oktober 2020, tapi baru disampaikan seminggu kemudian (23/10). Pendaftaran dibuka 20-30 Oktober, dan batas pengumpulan 9 November 2020.
Artinya hanya ada 19 hari---bagi kami menguap 3 hari. Eureka! Entahkah ini nasib swasta, atau merata.
Meski berhasrat mengangkat bendera putih, aku sadar ini mandat. Harus dikerjakan sebaik-baiknya. Barangsiapa setia pada perkara kecil, kepadanya akan dipercayakan perkara yang lebih besar.
Suatu kehormatan di satu sisi, kuk mahaberat di seberang. Ditambah 'ultimatum', "Tahun lalu kita juara 1 kok, mr!" Terjemahannya, jika kali ini tidak masuk juara, malu dunia pendidikan swasta. Bisa mengurangi rating sekolah kami. (Bagian terakhir penekanan pribadi)
Anda tentu ingat dong, masa-masa menghimpun jam terbang hingga eksper. Mustahil diraih hanya hitungan hari. Belasan tahun, mungkin. Perlu yang namanya pengalaman. Lha ini mau bimbingan lomba jarak jauh, hanya DUA MINGGU.
Godaannya, bisa saja porsi guru yang dominan. Atau, lebih parah, tulisan lahir dari pikiran guru, diganti nama murid. Berarti tidak orisinil. Kalau menang, tidak heran. Kalah, memalukan. Di sinilah beban terberat saya. Jangan sampai idealisme "menindas" kreativitas dan pribadi murid. Apalagi, ini pertama buat mereka.
Awal pekan berikut, ganti wali kelas 5 menghampiri. "Rapat" memutuskan satu dari dua kandidat murid yang punya kapabilitas dan minat menulis. Segera menghubungi orang tua, dan mendaftar melalui tautan Google Form.
Panitia menyajikan empat subtema: kebudayaan, pariwisata, kuliner dan pendidikan. Atas ide wali kelas, kami menyarankan kuliner, karena kota mungil kami ini "surganya" kuliner. Tapi kami harus menghargai pendapat murid, mereka sendiri yang akan memilih.
Tak kenal maka tak sayang. Saya harus mengenal karakter, minat dan kemampuan murid saya. Indikatornya? Keaktifan selama PJJ, tingkat disiplin mengumpulkan tugas, dan cara menuliskan jawaban.
Lagi, saya ragu. Apakah saya mampu? Meski mengajar jarak jauh dan jam kerja setengah hari, beban mentalnya tak lantas ringan.
Mulailah bimbingan melalui percakapan WhatsApp. Saya beruntung, lulusan nonPGSD tapi mengajar Tematik. Lebih diberkati, murid saya cekatan.
"Prinsip dasar dalam menulis adalah 5W+1H", tutur saya kepada murid, Alexa. Saya pernah mengajarkan di Tema 2, tinggal menggiring dalam konteks lomba. Saya berikan arahan, sudut pandang, dan analogi agar mempermudah Alexa membuat kerangka.
Karena satu dan lain hal, saya tidak bisa membimbing setiap hari. Ini tidak baik ditiru.
Dua hari kemudian, saya menanyakan drafnya. (Begini kali ya rasanya jadi dosen pembimbing. Berikan teori, siswa yang mengerjakan. Tinggal tagih-tagih, hehe) Tiga halaman dengan spasi ganda, margin 4-4-3-3. Lumayan, meskipun belum selesai.
"Keren! Perlu ditambahi lagi ya supaya lengkap", tanggapan saya. Perjuangan murid saya takkan sia-sia. Semoga.
Lima hari selanjutanya saya kembali "menagih". File Microsoft Word berkapasitas 37 kb mengagetkan saya. Sepuluh halaman! Salah satu syarat, minimal 3 halaman tanpa ilustrasi. Secara kuantitas memenuhi. Kualitasnya? Tunggu dulu.
Inilah anak tangga ketiga permasalahan. "Dari sekian banyak peserta, panitia bisa bosan kalau membaca 10 halaman, mr", tutur 'dosen pembimbing dua', sang wali kelas. Nah...
Waktu semakin mepet, tugas anak dan administrasi bertumpuk, tenggat waktu sudah di pelupuk. Saya makin suntuk.
Berbekal secuil pengalaman di Kompasiana, saya "rombak" kerangka jejak papan tik Alexa, bukan isinya. Ingat, tugas guru adalah fasilitator, bunyi alarm diri.
9 November, menjelang jam 12, saya mencetak naskah sejumlah tiga bendel dan menyerahkan ke kantor dinpersip Salatiga. Berkas diterima, tugas selesai, fiuuh... Hasilnya? "Kita sudah berusaha, sisanya kita serahkan pada Tuhan ya."
"Diumumkan lewat medsos ya, mas", jawab Mbak Ratna atas keingintahuan saya tentang teknis pengumuman. Kalau sampai muridku batal menang, pasti gara-gara Kompasiana.
Kok begitu? Ya iyalah! Kompasiana telah mendidik, mengajari dan mendisiplin saya bagaimana harusnya menulis.
16 November pagi. Belum nampak bunyi pengumuman. Siang atau sore, katanya. Saya bagikan akun dinpersip Salatiga kepada Alexa, agar turut menyimak.
Sorenya, Alexa dengan gereget japri saya. Wah, bagaimana kalau... "Apakah ini pengumumannya, mr?", tanya si murid mungil, memastikan.
Maafkan mr, nak. Mr masih amatir. Maaf, kamu batal menang.... is, karena akhirnya juara satu.
Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H