Menengok mundur, bukan sekali dua Jokowi "pamer" baju. Dalam menyampaikan pidato kenegaraan dalam Sidang Bersama DPD-DPR, Jumat 16/08/2019 Jokowi mengenakan pakaian adat Sasak, Nusa Tenggara Barat. (Kompas.com)
Baju adat Klungkung, Bali dikenakannya saat Upacara Peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI 2019. Sudah lima tahun sejak 2019 Jokowi berganti-ganti baju adat dari Aceh, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, Sunda, Jawa, Betawi, hingga Bugis. Jokowi  berkomitmen akan mengenakan baju adat dari daerah lain dalam acara kenegaraan. (Liputan6.com)
Jokowi memang beda. Eks tukang kayu yang hobi blusukan ini terbiasa menggunakan kemeja putih, celana jins, sneakers dan---yang belakangan viral---jaket bomber buatan dalam negeri. Persatuan Indonesia. Dia "robohkan" etika busana formal, merepresentasikan identitas rakyat.
Dalam rangka memperingati HUT RI ke-75, Bank Indonesia menerbitkan mata uang khusus senilai Rp. 75.000. Ini bukan kali pertama BI mengeluarkan nominal khusus. Namun, mata uang spesial Ulang Tahun Republik Indonesia ke-75 ini jadi banyak sorotan. Dari angka "75" dicetak lebih besar dibandingkan "000", sampai kostum adat yang dikenakan seorang anak di lembar sebaliknya yang dituduh memakai pakaian adat Cina.
Menanggapi tuduhan, Bank Indonesia: "Itu pakaian adat dari Kalimantan Utara, baju adat Suku Tidung. Coba carilah di Google..." Nah, Google juga yang jadi hakim. (Kompas.com) Muhammad Izzam Athaya, nama anak itu, bersekolah di SD 041 Tarakan, Kalimantan Utara. (antvklik.com)
Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Marlison Hakim menjelaskan, pakaian adat yang diwakilkan sembilan daerah di bagian barat, tengah dan timur Indonesia itu telah lolos diskusi panjang dengan pemda, sampai ke level kepala dinas pendidikan dan kebudayaan setempat, dan unit pelaksana teknis balai di daerah masing-masing. (Kompas.com)
Karakter warganet +62 lekat dengan anti kebaruan, latah, pengkritik tapi anti kritik, oportunis, menjunjung suka-tidak suka di atas kebenaran. Kalau diringkas: picik. Tidak semua, memang. Yaitu mereka yang berpikir panjang, kritis, objektif dan adaptif.
Bagi kaum picik ini, mau kebijakan atau produk sesempurna apa pun, kalau fondasi pikirannya like and dislike, tetap salah di matanya. Jadi, mari lanjutkan hidup dan tetap berkarya. Biarkan mereka melawak.
Indonesia tidak hanya seluas Jawa. Indonesia bukan negara yang disusun hanya kelompok mayor dan mainstream dalam berita. Terlampau kaya negeri ini, tak sanggup kita genggam semua dengan kedua tangan.
Di era global, mustahil kita berdiri sendiri. Jangan curiga berlebihan dan mengkritik tanpa dasar. Inilah penghambat kemajuan. Juga bukan alasan untuk tidak mengenal bangsa sendiri, apalagi malu. Ini eranya berkompetisi dengan identitas diri. Mari bangga menjadi Indonesia!