Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Seminggu Mengajar Daring, Ini Keterampilan Baru yang Kami Dapat

28 Juli 2020   15:53 Diperbarui: 28 Juli 2020   17:15 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu kelas, tiga laptop. Seni mengajar jarak jauh | dokumentasi pribadi

Aku di sini dan kau di sana, hanya berjumpa video dan suara... jauh di mata lalu makin tak ngerti...

Begitulah untaian kata yang merepresentasikan nasib kami. Buruh pendidik yang pusing mengajar daring, meladeni orang tua-murid yang bingung. Kami kudu banyak akal, panjang usus, serta dingin kepala menghadapi tahun ajaran baru 2020. Gulung koming-nya saya ulas di sini.

Satu minggu mengajar daring, kami dapat banyak keterampilan baru.

Berimprovisasi. Saya jadi guru yang untung, sekaligus buntung kali ini. Mengajar di jam pertama, hari pertama. Saya panen beragam masalah. Yang masalah mikrofon tidak menangkap suara. Yang belum mencetak summary. Yang belum tahu di mana melihat jadwal...

Alhasil, dua JP menguap. Tak berisi. Barulah pada jam ketiga, dari rekan guru Matematika saya belajar untuk "lanjut terus". Harus improvisasi. Fokus pada rencana pembelajaran. Tidak perlu meladeni semua komplain murid, apalagi gegara alasan sepele. PJJ menuntut kesiapan menyeluruh.

Terampil mengoperasikan laptop. Merasa gaptek. Padahal sarjana baru. Namanya menggunakan barang baru---baru menggunakan tepatnya. Aplikasi pembelajaran daring sudah tersedia jauh sebelum pandemi. Google Classroom misalnya, dirilis 2014. Pasti butuh belajar. Kagok di sana-sini sebelum betulan terampil.

Sudah sabar, jadi esktra sabar. Jaringan naik turun, anak sudah diberitahu masih bertanya, kalau  anaknya kesulitan orang tua bukannya japri malah heboh di grup. Itulah alasan untuk sabar. Teknologi itu mudah dipelajari, tapi kesabaran... susah setengah hidup.

Anak-anak kangen ke sekolah. Tempat bukan hanya menimba ilmu, tapi kesempatan bersosialisasi dengan teman-teman. Apalagi mendapat perhatian dan didikan dari guru. Sekolah jadi sumber kebahagiaan mereka, yang takkan pernah digantikan gawai pemberian orang tua. Betapa pun canggih dan mahalnya. Di sinilah kesabaran guru "terbayar". Peran mereka tak tergantikan. Gegara pandemi ini saja sementara pembelajarannya jarak jauh.

Tapi yang lebih merindukan sekolah adalah para emak. Kok bisa? Ya iyalah, mereka sudah bayar ke sekolah, tapi masih harus mendampingi belajar.

CS yang handal dan sabar. Customer service (pelayan nasabah) biasanya mereka yang duduk di balik meja. Menunggu telepon pertanyaan, keluhan, dan protes pelanggan. Pelanggan adalah raja. Kami di sekolah, dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) merangkap jadi pelayan nasabah. Tak hanya sabar, harus siap dihubungi di luar jam kerja (ada yang sampai jam 1 dini hari!).

Ditanya ini itu, padahal sudah diberi panduan pengerjaan tugas di grup. "Apakah sudah dibaca panduannya, mam?" "Belum." Gubrak! Batu mana batu...? Buat apa? Mau dimakan! Sabar, sabar. Katanya mau belajar sabar. Huffftt....

Penyiar radio multi tasking. Penyiar radio dan guru beda, dong. Jangan disejajarkan. Oh, mungkin karena sama-sama bakat ngoceh. Mulut komat-kamit, tangan mengoperasikan tetikus, membolak-balik buku, memastikan kamera dan mikrofon berfungsi. Terpenting, para pendengarnya tersambung. Percuma ngoceh semerdu burung gagak, atau menggelegar bak geluduk kalau koneksinya putus.

Bedanya kalau penyiar membacakan berita, salam-salam, pantun, atau lawak. Jika  pendengar mulai bosan atau galau, putarkan lagu dangdut. Guru harus bicara ngalor-ngidul mengajar materi. Kalau muridnya bosan? Tinggal tidur. Sedih, kawan.

Tiap kelas dipakai satu guru. Tapi, saking kompaknya satu kelas diisi tiga guru, masing-masing mengaktifkan laptop. Tiga laptop menyala sekaligus. Satu laptop untuk menampilkan audio-video. Laptop kedua pratampil. Laptop ketiga cadangan. Mana guru, siapa asisten, yang mana pendamping sukar dibedakan. Semua jadi staf khusus rempong.

Kalau tetiba "Mister, ndak ada suaranya". Atau saat presentasi tetiba nge-lag, tinggal pindah ke laptop sebelah. Canggih!

Jadi "konselor" yang butuh dikonseling. Adakah dokter yang bisa mengoperasi diri sendiri kalau sakit? Atau, mana ada pelawak selalu gembira tak butuh dihibur? Demikian halnya guru SD. Selain jadi konselor menangani tingkah anak yang melampaui garis, kami butuh dikonseling.

Kali ini gangguannya bukan tingkah anak. Tapi teknis internet-komputer. Gawai sulit diajak kerjasama. Ditambah panjang lebar keluhan orang tua yang gagap menggunakan hal baru. Ini semua menyebabkan frustasi. Rekan saya sedikit jeles, "Kamu mundur dari wali kelas pada saat yang tepat."

Memberi respons cepat. PJJ dituntut serba cepat. Tiap hari dialokasikan 3 JP, masing-masing 30 menit. Tidak ada waktu banyakan yel-yel. Tiap detik berarti. Kalau murid bertanya materi, langsung dijawab. Sesingkat dan sejelasnya. Tapi kalau pertanyaannya "Gambarnya gelap..., presentasinya tidak berganti..." Atau kinerja CPU 100%, tidak sanggup diajak lari. Jadi makin stres. Bingung. Panik. Labil. Tidak bisa memutuskan. Kewalahan. Nge-blank. Merasa tidak waras. Loh, ini keterampilan apa pengungkapan diri?

Kalau Anda, di era PJJ yang bertambah keterampilan atau kerempongannya?

Salam,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun