Seminggu sudah pembelajaran di tahun ajaran baru 2020 dilewati. Untuk pertama kali dalam peradaban manusia, pembelajaran daring (dalam jaringan).
Lebih kurang tiga pekan setelah penerimaan rapor---pendistribusiannya secara elektronik---kami mengadakan raker. Evaluasi program tahun lalu. Merancang program mendatang beserta penanggung jawabnya. Berikutnya, model bagaimana pembelajaran di masa kewajaran baru?
Sesuai protokol kesehatan, Salatiga belum direstui melakukan PTM (Pembelajaran Tatap Muka). Sistem daring pun niscaya. Kami menimbang-nimbang aplikasi yang cocok dengan ciri khas kami untuk disuguhkan kepada para murid. Yang memadahi, aman, dan mudah digunakan. Kalau bisa yang gratis. Google Classroom, Zoom, atau Office 365.
Ditetapkan memakai aplikasi Google Meet, yang konon lebih aman dibanding Zoom. Dua minggu kami harus "kuliah". Meski mayoritas kami sarjana muda, tetap terseok-seok dibuatnya. Soalnya tak ada keharusan memakai aplikasi sebelumnya.
Sebagai prasyarat, pengadaan kelas virtual dibutuhkan akun email khusus guru dan murid. Diurus staf IT. Dalam pengaturan akun guru, dimasukkan daftar email siswa sebagai undangan. Inilah mengapa Google Meet lebih aman. Hanya akun siswa yang didaftarkan yang bisa bergabung dalam kelas.
"Kuliah daring" kami diampu "dosen" ahli komputer yang lebih mahir dunia per-Google Classroom-an. Untuk efektivitas, setiap kantor guru menyimak materi dari proyektor LCD. Macam nobar gitu. Dua hari berguru, hasilnya: NOTHING.
Jaringan wifi di kantor kami labil. Timbul tenggelam hobinya. Dengan satu komputer mengakses video streaming saja lelet, berapa kali putus. Lha bagaimana kalau tiap guru streaming...?
Memakai teknologi adalah sia-sia tanpa praktik. Dirasa ilmu sang "dosen" ketinggian untuk kami cerna, waka kurikulum menyingsingkan lengan mengajari kami. Dengan sabar, sang waka memandu melalui grup WA, menunjukkan foto tampilan komputernya. Kok lebih mudeng diajari waka, ya...
Tiap guru membuat "ruang kelas". Akun siswa dimasukkan dalam daftar undangan. Materi disusun tiap tema, masing-masing bisa disisipi berupa dokumen, video atau tautan. Jadwal diletakkan di Google Calendar. Begitu siswa membuka email, mereka bisa mengakses kelas virtual dan jumpa guru via Google Meet. Gampang kan? Padahal, praktiknya diwarnai keluhan.
Setelah terlunta-lunta dan mengeluh sedemikian hingga, barulah kami manggut-manggut, canggih ya... Jadwal, Google Meet, dokumen, rekaman video, penyimpanan elektronik (drive), semua terintegrasi!
Menurut staf IT, agar bisa streaming video dengan stabil, tiap komputer perlu bandwith 2,5 Mbps (Mega byte per second). Makanan apa ini? Volume informasi per unit waktu yang bisa ditangani oleh koneksi internet. (domainesia.com) Gampangnya, kecepatan tansfer data (misalnya video), gitulah.
SD kami paralel dua tiap jenjang. Berarti ada dua belas kelas. Atas nama efektivitas, sementara paralel dihilangkan. Jadilah enam kelas. 2,5 Mbps x 6, total diperlukan 15 Mbps. Sedangkan provider yang dipakai hanya mampu menyediakan 7 Mbps (kurang dari separuh kebutuhan). Ulala...
Coba diakali dengan kabel LAN (berfungsi menyalurkan jaringan internet). Jika masih belum berhasil, kembali ke depan: amalkan kuota pribadi. Itu belum masuk variabel kinerja perangkat elektronik yang dipakai. Netbook dengan laptop beda kinerjanya.
Kapasitas memori akses, tipe prosesor, juga harus mumpuni. Jika dipaksakan, gambarnya patah-patah. Tampilan di layar tak berubah, pointer hilang entah di mana. Nge-leg. Weleh-weleh...
Kepada siapa kami perlu mengerang? Presiden? Mendikbud? Diskominfo? Atau pengurus yayasan?
Percuma mengutuki gelap. Dengan tetes minyak yang ada, kami nyalakan pelita. Kalau gagal, ya coba lagi. Jika macet dan murid tidak mudeng, ya maklum. Namanya juga kenormalan baru. Di sinilah daya adaptif diperlukan untuk terus belajar dan belajar.
Pengujian berikutnya. Secara bergiliran, tiap guru masuk kelas dengan guru lain memerankan murid, meminjam akun email murid. Satu kali lemot. Dua kali ngadat. Mengeluh lagi. Solusinya kami harus mengorbankan paket data pribadi. Demi......
Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, rangkaian pembuka di tahun ajaran. Berlangsung tiga hari, 13-15 Juli 2020. Melalui kanal media sosial Instagram, dan Youtube anak-anak didampingi orang tua mengikuti ibadah awal tahun, berkenalan dengan para guru, penjelasan pembelajaran di era kewajaran baru dan protokol kesehatan dari dinas kesehatan serta pengenalan berlalu lintas dari Polsek.
Dua hari berikutnya, 16-17 Juli, kami menyapa murid di kelas. Hambatan juga dialami orang tua. Ada yang merespons dengan tenang, kalem mengikuti kebijakan sekolah. Ada juga yang panik karena koneksi internet atau gawai tak mendukung. Takut kalau anaknya ketinggalan, nanti nilainya merah, karena tidak ada yang mengajari di rumah. Orang tua sibuk kerja.
Belum lagi jika anaknya tiga, gawainya harus bergantian, atau menunggu orang tua pulang kerja. Kalau pun diberi gawai pribadi, pendampingnya adalah kakek-nenek yang (maaf) jangan ditanya kemampuannya mengakses teknologi.
Begitulah pengalaman kami. Rasa cemas, kalut, khawatir, dan keluhan netral seketika saat melihat anak-anak. Muka bangun tidur, rambut gondrong, atau menguap melawan kantuk. Senang bisa kembali terhubung dengan mereka.
Sekedar mengajari mereka cara mengaktif-nonaktifkan mikrofon dan kamera, langkah beralih dari satu kelas ke kelas lain; menghadirkan sebutir kelegaan. Pelajarannya besok bagaimana? Kesusahan sehari cukup untuk sehari.
Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H