Self-abusive anger, muncul karena putus ada, tidak berharga, disakiti atau malu. Verbal anger, diikuti ekspresi teriak, mengancam, sarkasme hingga kritik menyalahkan. Tujuannya mempermalukan seseorang. Volatile anger, kemarahan yang naik turun seperti rollercoaster. Bisa cepat marah, seketika kemudian langsung tenang. (lifesupportscounselling.com.au via klasika-kompas.id)
Mengapa di atas saya menyinggung Pak Prabowo? Untuk membandingkan efektivitas "marah" dengan tokoh-tokoh berikut, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin.
Ahok marah karena banyak keruwetan birokrasi. Eks gubernur DKI Jakarta itu hobi marah. Diantaranya, buruh ngeyel menuntut KHL (Komponen Hidup Layak), anak buahnya menarik pajak pada penyumbang bus, dan laporan "siluman" tentang pegawai lepas di dinas kebersihan DKI. (detik.com)
Dalam evaluasi penanganan banjir, Ahok sampai berkata, "Yang bodoh nurut, yang pinter ngajari". Konon, watak galak ini sudah "dilatih" sejak meneruskan perusahaan ayahnya di Belitung.
Pembawaannya boleh keibuan. Tapi jika ada yang tak beres di jajarannya, dia muntab. Pernah, dua unit mobil PCR bantuan BNPB dialihkan ke daerah lain oleh Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jawa Timur. Walikota Surabaya itu tak terima mobil bantuan untuk warga Surabaya diboikot. Padahal ketua gugus tugas langsung yang memberitahu Bu Risma. (kompas.com)
Bupati Boltim (Bolaang Mongondow Timur), Sulawesi Utara mencak-mencak. Kebijakan pemerintah menyulitkan masyarakat penerima bantuan di masa pandemi Covid-19. Sehan Salim Landjar menyemprot menteri terkait. Menteri desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi, menteri sosial dan menteri dalam negeri. Kebijakan mereka tumpang tindih. Membingungkan. Pernah ada warga datang minta beras satu liter untuk makan. BLT hanya janji. Akhirnya Sehan bertindak sesuai kebutuhan lapangan. (tempo.co)
Kemarahan Bupati Boltim ini nyata relevan, saat Jokowi murka di depan jajaran kabinetnya. Kinerjanya tidak sesuai kondisi krisis. Mereka seharusnya bekerja sesuai situasi extraordinary. Bukan yang biasa-biasa saja.
"Saya lihat masih banyak, kita ini yang seperti biasa-biasa saja. Saya jengkelnya di situ! Ini apa nggak punya perasaan, suasana ini krisis." Rombak kabinet atau Perpu tak ayal. Begitulah kalau macam-macam dengan (eks) tukang kayu.
Seorang tukang kayu juga pernah marah, sampai menjungkirbalikkan meja para pedagang. Pasalnya dari balik meja penukar uang dan pedagang merpati mereka "merampok" orang-orang yang hendak beribadah. Tempat ibadah jadi sarang penyamun.
Di tengah kungkungan pandemi seperti sekarang, banyak orang sensi dan mudah marah. Maka, setiap kita perlu berkaca di dasar atas apa kita berpijak. Seperti tipe Judgmental anger, misalnya. Marah karena melihat atau menerima ketidakadilan orang lain.
Marah yang bagaimana yang efektif? Indikatornya gampang. Apakah marah itu untuk membela diri dan kelompok; atau kepentingan rakyat banyak.