Anda hobi bersepeda? Kapan terakhir bersepeda? Mengeluarkan dari gudang atau baru dibawa pulang dari toko?
Terakhir kali saya mengayuh sepeda adalah sebelum masuk kuliah. Seiring tingginya mobilitas dan jamurisasi roda bermotor, sepeda yang saya beli dari uang tabungan yang ditomboki ibu itu bersarang di gudang bertahun lamanya. Musim bersepeda tiba, saya keluarkan sepeda hitam itu, cuci dan bersihkan.
Inginnya upgrade yang lebih canggih. Sayang, kantong tak berpihak. Tak mengapa karena memang tidak minat mendaftar klub, sekedar mancal kalau pengen. Lumayan untuk meregangkan otot-otot paha.
Orang Indonesia terkenal latah. Ada tren apa, ikut nimbrung. Om-telolet-om, contohnya. Ada fenomena apa, ngikut. Tiktok, misalnya. Setelah latah memborong masker dan handsanitizer, sekarang latah membeli sepeda. Tak di kota tiada di kampung, banyak yang mendadak ingin naik sepeda.
Pemantik dari tren ini adalah kondisi masyarakat yang mulai bosan "bersangkar". Kita ingin bebas, dan eksis melampaui sekat maya. (Kalau nanti "keluar kandang" agar bisa membuat cerita di media sosial, itu soal belakangan) Karena mendatangi tempat wisata masih berisiko tinggi, nggowes (bersepeda) jadi pewarna masa Kewajaran Baru. Di Jakarta, dikabarkan pengguna sepeda naik 10 kali lipat (republika.co.id, Juni 2020)
Selain menghilangkan jenuh, bersepeda bisa sekalian olahraga yang aman karena tidak ada kontak fisik dengan orang lain. Namun, melalui tulisan ini kita akan tahu membedakan, mana bersepeda yang hanya buat gaya---yang justru menimbulkan masalah baru---dan mana yang bagian dari budaya.
Serombongan pesepeda di Tegal, Jawa Tengah berkonvoi tapi menerobos lampu merah. Beberapa di antaranya bahkan tidak mengenakan masker. Video yang diunggah akun Twitter alexjourneyIDÂ jadi viral. Tak hanya indisipliner dan urakan, aksi mereka mengganggu lalu lintas.
Warganet mengkritik pedas ulah mereka, salah satunya akun fudin_emes "Saiki pada sepedaan tapi ora naati peraturan protokol kesehatan. Malah salah kaprah" (Sekarang pada bersepeda tapi tidak menaati protokol kesehatan. Malah jadi salah kaprah) (instagram/okezone.id)
 Brigjen Pol Krishna Murti mengecam kelompok pesepeda yang kerap ditemuinya. Dibandingkannya pesepeda berpendidikan tinggi dan rendah melalui kolase foto. Sekelompok orang mengayuh sepeda keren tapi menguasai badan jalan.
Satu kelompok lainnya tengah asyik mengayuh sepeda dengan satu barisan rapi di pinggir agar tak menghalangi pengendara lain. Sesuai tebakan Anda, kelompok yang pertama itulah yang katanya berpendidikan tinggi. (instagram/okezone.id)
Bandingkan dengan kisah berikut.
Setelah menaklukkan Gunung Kilimanjaro, Afrika Timur dengan membawa sepeda, Mas Paimo (Indonesia) ingin mengukir sejarah melalui perjalanan "Trans Atacama Cycling Trip 2006".
Tak perlu menunggu tren, Mas Paimo mengkristalkan kesabaran, keteguhan, kesungguhan, ketangguhan, kerendahan hati, tekad dan keberanian untuk "menumbuhkembangkan olahraga bersepeda jarak jauh di tanah air". Semua persiapannya "hanya" dilakukan dalam delapan tahun. (Buku Bersepeda Membelah Pegunungan Andes, Bambang "Paimo" Hertadi Mas) Jejak petualangannya bisa dinikmati di akun instagram @le_paimo
Dean Nicholson (Skotlandia) @1bike1world, selalu membawa kucingnya, Nala, dalam perjalanan berkeliling dunia. Mulanya Dean bersepeda sendirian. Hingga suatu hari ia menemukan seekor kucing betina menangis kelaparan di tepi jalan. Dean mengadopsi si kucing dan memberi nama Nala, terinspirasi karakter singa di film The Lion King. Nala kemudian menjadi teman setia dalam perjalanannya. (instagram/okezone.id)
Masih banyak fenomena berpeseda bisa diungkap jika perlu. Jika dibuat kategori, di Bumi ini hanya ada dua kelompok pesepeda: yang banyakan gaya dan pegiat budaya. Kembali pada pembaca, hendak mendukung dan menjalani hidup seperti kubu yang mana.
Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H