Jika Anda pernah jadi mahasiswa, pasti lekat dengan menu "indomi tante", atau "intel". Iya kan, indomi tanpa telur, indomi telur. Demikian nama yang dibikin peburjo di Salatiga. Seolah indomi ini, oleh penggemarnya, ditakdirkan jodohnya telur. Yang perut karung, tambah nasi boleh lah.
Namun jika Anda belum berkesempatan, atau lupa kayak apa rasanya jadi mahasiswa, tenang, itu bukan akhir cerita. Wong saya yang pernah mahasiswa saja tak tahu rasanya indomi di warung burjo (bubur kacang ijo)---yang juga jual menu indomi, hihi. Ngenes ya?
Saya bukan pemburu indomi soalnya. Pernah sih, nongkrong di burjo sekali dua, itu pun pesannya es bubur kacang ijo campur ketan ireng, atau nasi sarden. Jadi saya bukan bagian sejarah penikmat menu legendaris ini. Berikut 5 mitos yang sering saya dengar tentangnya.
Enak
Aromanya saja bikin ngiler, apalagi rasanya...
Indomi bisa jadi masakan paling enak termurah. Perihal murahnya, tak usah didebat. Kalau enak, relatif. Enak untuk anda, belum tentu demikian bagi saya. Tapi orang kebanyakan akan setuju bahwa yang berbumbu itu enak. (Saya tidak mengklaim bahwa indomi enak loh ya. Kebetulan indomi berbumbu, jadi anggaplah enak)
Ada yang bilang enak itu masakan emaknya, atau bumbu racikan sendiri. Ada lagi yang berteori, enak itu yang dijual di gerobak-gerobak pinggir jalan, yang terpapar asap knalpot, yang tak tahu penjualnya habis pegang rokok atau mengelap tangan dengan kain yang entah kapan terakhir kali digempur busa sabun. Yang penting enak, titik.
Jadi, kalau ada yang bilang indomi itu enak; entah beli di burjo, entah masak sendiri, itu karena lebih kepada ditindah fakta bahwa harganya murah. Jodohnya, si telur juga mengambil peran kunci. Ada kelompok manusia yang ngiler-nya hanya bisa diobati dengan indomi campur telur. Jadi, indomi enak adalah mitos. Kalau Anda menolak teori saya, anggaplah tulisan ini yang mitos.
Rasa Kuliner Nusantara
Dari masa ke masa, rasa indomi yang tak pernah usang adalah ayam bawang? Betul tidak? Berikutnya muncul soto lamongan, bakso, kari, ayam geprek, mi Aceh, rendang dan masih banyak yang tak berminat saya hafalkan. Menu nusantara, katanya. Itu kata bungkusnya. Memang pernah Anda temukan dalam kemasan mi instan itu potongan daging, atau ayam? Ada, di tipi.
Namanya juga iklan. Irisan bawang dan sayur kering adalah realitas topping yang bisa ditemukan. Perpaduan micin, penyedap, penguat rasa dan bubuk cabe ampuh menghipnotis penikmatnya seolah-olah mereka makan soto atau rendang. Sudah begitu, karena penasaran saya pernah beli dan masak. Habis pula, hehe.
Bikin Gemuk
Pernah dulu saat momen lebaran waktu masih SD, saya membeli mi instan, satu dus! Tak sampai sebulan, ludes. Dari kami berempat, hanya saya, adik, dan ibu yang pelahap. Satu dus isi 40, dibagi tiga, anggaplah satu orang makan 14 bungkus dalam kurun kurang dari sebulan.
Hasilnya? Saya tetap kurus. Tak benar kalau makan indomi bikin gemuk. Jadi aman buat Anda yang takut gemuk.
Perihal ada teman saya yang hari ini makan indomi, besoknya bobot badannya bertambah dua kilo, adalah soal lain. Bagaimana tidak naik, orang dia makan indomi nambah. Tak diungkap ke publik apakah di rumah dia makan tiga kali atau lebih. Belum cemilannya.
Masakan Burjo Lebih Enak dari Bikinan Sendiri
Terkait masakan aa atau teteh di burjo lebih enak, sudah dikupas rekan kompasianer yang lain. Menurutnya, itu hanya preferensi pribadi yang kemudian menjadi sugesti kelompok.
Bagi orang lapar, mi instan mentah yang dikremes ditumpahi bumbu lalu dikocok pun enak. Hayo ngaku, Anda pernah begitu tidak?
Konon, yang di warung burjo lebih enak karena ada tiga trik cara memasak, padahal bahan-bahan yang dimasak sama. Salah satu rahasianya adalah komposisi air untuk merebus mi. Kian kental, makin nikmat. Nah, yang masak terus diganti air panas, tidak enak dong...
Atau dari urut-urutan mencampur bumbu. Katanya bumbunya tidak boleh dicampur waktu mi dimasak. Dituang dalam mangkok dulu, baru dituang mi dan airnya, baru diaduk. Bagi saya, mi ya tetap mi. Bedanya hanya tiga: mi rebus, mi goreng, mi nyemek. Tak kurang, tidak lebih.
Tidak sehat
Seorang pemilik kafe di belakang kampus mengeluh wastafelnya mampet. Ketika dibongkar, rupanya pipa yang menjadi saluran pembuangan tersumbat semacam lilin, diduga dari air bekas merebus mi (menu andalan kafe). Bayangkan jika itu terjadi di usus...
Dilansir dari viva.co.id, dr. Tee E Siong, President of the Nutrition Society of Malaysia mengungkapkan anggapan mi instan berbahaya tidak sepenuhnya benar. Makanan kuning ini limpah karbohidrat dan lemak, namun minim protein, serat, mineral dan vitamin. Hitung saja kadar karbohidrat dan lemak yang Anda timbun seiring rutinnya mengonsumsi mi.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan The Washington Post (2014) menyebutkan mi instan beresiko menimbulkan gangguan metabolisme (diabetes, tekanan darah tinggi, dan masalah jantung) karena tinggi sodium, lemak jenuh tidak sehat dan tinggi glikemiks. Konsumsi berlebihan juga bisa memicu obesitas. (medium.com)
Bukan berarti jika makan mi instan tidak sehat, kecuali Anda mengonsumsi lima kali sehari.
Demikian mitos yang mengiringi nikmatnya indomi rebus. Barangkali pembaca punya pengalaman tersendiri, sila berbagi.
Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H