Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Hutan Karet yang Ngeselin, Salam Tempel yang Ngangenin

24 Mei 2020   12:54 Diperbarui: 24 Mei 2020   17:35 960
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang anak mendapat salam tempel | foto: shutterstock via thr.kompasiana

"Yah... tidak ada lagi yang ngasih aku salam tempel dong...", ucapku polos disambut tawa seluruh kerabat, kira-kira setahun sepeninggal pakde pertama dari pihak ibu.

Lebaran, selebrasi seluruh umat muslim setelah berjuang sebulan puasa memberi banyak kesan dan kenangan. Berkah bagi mereka yang tak pernah bolong puasanya, rezeki limpah bagi mereka penjaja penganan khas lebaran, anugerah bagi anak-anak macam aku---sasaran amal pakde-bude, om-tante.

Aku, sekalipun tidak merayakan lebaran, turut kecipratan rezeki. Kerabat bapak dan ibu majemuk keyakinan. Islam, Kristen, sampai Budha. Lebaran, sebagai perayaan umat mayoritas di Indonesia, tak jarang diikuti semaraknya oleh pemeluk agama lain.

Biasanya, aku dan adik perempuanku diajak bapak-ibu bersilaturahmi ke rumah kerabat di daerah Blotongan, Salatiga, berjarak 6 km dari kampung kami, Watuagung. 

Masa aku Sekolah Dasar, jarak itu terbilang jauh, soalnya belum banyak warga punya kendaraan pribadi, termasuk bapak. Angkutan umum pun masih hitungan jari, adanya angkudes. 

Bapakku, dengan prinsip hemat-sehatnya, mengajak kami berjalan kaki menembus hutan karet. Enam kilometer jalan kaki, bro! Untuk usia kelas 4 SD, tidak ada yang menarik dari perjalanan ini selain banyak nyamuk, jalannya terjal dan panas.

Saat berangkat, derita perjalanan bisa diabaikan, karena semangat akan bertemu saudara-saudara sepupu.

Pakde-bude dan om-tanteku dibilang lebih berada dari bapak-ibu. Ada yang punya toko, penjual makanan, atau pegawai pabrik. Dari mereka, selain berbagai penganan, yang paling ditunggu-tunggu tentu salam tempelnya! Bukan nominal, tapi kesannya. Tambah seru kalau dikasih kembang api oleh pakde yang punya warung besar.

Biasanya pakde-bude akan memberi uang lembaran baru, seperti kertas baru disetrika, mulus, wangi pula! Jika dikalkulasi nominalnya juga lumayan besar. 

Jika satu orang memberi Rp 1.000 -- Rp 2.000 (kalau tidak salah, maklum otak disket), dikalikan setidaknya sepuluh orang, maka Rp 15.000 bisa di tangan. 

Untuk belasan tahun lalu, jumlah itu cukup besar. Meski akhirnya dipakai untuk beli mercon, haha. Momen seru ini hanya ditemukan saat lebaran.

Dalam hal kuliner, aku tidak terlalu heboh. Sehari sebelum malam takbir bapak sudah memetik janur, membuat ketupat sendiri, dan dimasak oleh ibu. 

Malamnya ketupat matang, diadu opor, aku lebaran duluan. Beberapa kerabat yang silaturahmi ke rumah, entah sudah punya ketupat di rumahnya atau belum, mereka makan juga ketupat ibu.

Satu atau dua hari setelah lebaran, barulah kami gantian mengunjungi kerabat untuk silaturahmi ke Blotongan itu. Sebagai non-muslim kami memaklumi, mereka harus menjamu banyak tamu di rumahnya. Jadi saat kami datang, suasana sudah lebih longgar. Itulah cara sederhana kami mempererat ikatan.

Kembali pada kenanganku akan pakde pertama. Kakak-kakak sepupuku yang telah dewasa ganti memberikan salam tempel untukku dan adik-adik. Seru! Padahal, ada juga kenangan manis bersama pakde, selain lembaran mulus yang kami dapat. Misalnya, dalam suatu acara keluarga pakde harus mengangkut perkakas bolak-balik menggunakan gerobak dorong roda dua. Saat muatan kosong, kami berjejal di dalam bak dan didorong pakde. Kami tertawa bahagia dibuatnya, melebihi kesenangan naik odong-odong.

Namun, derita kembali kualami saat waktu kunjungan yang tak seberapa itu harus diakhiri dan kami pulang, jalan kaki. Aku sebal karena capek menerabas hutan karet, sekaligus kangen momen untuk bertemu para sepupu dan mengharap salam tempel.

Begitulah hidup. Sebal dan kangen selalu berdampingan.

Tapi itu dulu. Bumi terus berotasi, tahun kian bergulir, usia bertambah, dan Bulan Mei tak lagi tanpa hujan. Sekarang saat banyak orang bisa mengakses kendaraan pribadi, jarak tak lagi soal. 

Aku, meski sekarang telah dewasa belum ada tuntutan memberi salam tempel pada sepupu atau keponakan, soalnya belum menikah, hehe. 

Lagipula, situasi pandemi seperti sekarang boro-boro berbagi salam tempel. Mau saling icip ketupat opor saja tak bisa lantaran harus jaga jarak demi niat mulia memutus rantai penyebaran virus Corona.

Kiranya lebaran tahun ini tak berkurang maknanya, karena silaturahmi tetap bisa terjalin dengan peranti teknologi. Ketupat opor juga bisa dimasak sendiri. Salam tempel? Bisa transfer lewat bank elektronik kalau mau.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H, saudaraku. Mohon maaf lahir dan batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun