Namun, jika kita kita mau berpikiran lebih panjang, silaturahmi pun tak berkurang maknanya dengan bantuan teknologi. Video call, misalnya.
Lebih logis mana: tidak bersalam-salaman tahun ini atau tidak bisa berjumpa tahun depan karena harus terbaring di rumah sakit bahkan (amin-amit) nyawa direnggut virus?
Mereka yang mengerubungi pasar dan pusat perbelanjaan ini tak lain berburu sajian untuk di rumah. Lebaran berarti banyak jajanan dan penganan memenuhi meja tamu.
Bakal aneh jadinya jika lebaran malah kosongan, tak meriah. Semoga saya salah. Anggap saja kerumunan itu belanja kebutuhan harian.
...Kalau tidak nongkrong
Kabar baiknya---lebih tepatnya, sama buruknya---tidak hanya manusia +62 yang demen berkerumun. Di daratan lain tempat menara Eifel bertengger sana, pemuda-pemudinya juga pada nongkrong di tepi kanal dan taman, seperti diceritakan Mbak Derby Asmaningrum di sini.
Mungkin itulah mengapa manusia diberi gelar makhluk sosial. "Bisa sakit" kalau tidak bersosialisasi. Rupanya kecanggihan teknologi Zoom, Google Meeting tak bisa menukar kualitas tatap muka.
Satu sisi baik, sesuai kodratnya manusia diciptakan memang untuk berelasi. Namun jika pertemuan itu kurang berfaedah, kontra dengan upaya pencegahan virus, tak bisa dibenarkan.
Sedangkan petugas medis berjuang 24 jam, merelakan waktu dan kesempatan berkumpul dengan keluarga di rumah demi menangani pasien yang terpapar virus mematikan. Masih tega pada nongkrong?
...Kalau tak bisa merayakan kemenangan
Sepulang belanja sembako itu saya bagai melihat diri saya sepuluh tahun ke belakang. Setidaknya dua puluh pasang anak SMA berkonvoi dari daerah hutan karet memakai seragam dipiloks, tanpa helm, masker?