Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filosofi Mencuci Piring-Gelas

7 Mei 2020   20:13 Diperbarui: 8 Mei 2020   19:49 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mencuci gelas piring, foto: dokpri

Mencuci piring adalah kegiatan yang tak bisa disepelekan. Buktinya, sabunnya saja diiklankan. "Bersih bersinar, sun*****!" Itulah kekuatan bahasa iklan. Mana ada sabun yang bisa bikin bersinar, sedang PLN sebagai payung nasional kelistrikan saja bersinar-nya masih bergilir. #oops

Ngomong-ngomong tentang mencuci piring, saya ada sedikit pengalaman. Semasa kuliah, saya nyambi part time di sebuah warung internet yang ada game online-nya. Sekedar buat menyambung perjalanan (baca: mengisi bensin). Lowongan yang tersedia waiters, tugas utamanya tentu saja mengantarkan mi+telur dan/atau es teh untuk penggila game. Rupanya piring-gelas kotor juga menjadi urusan saya.

Waktu berikutnya saya mbabu di suatu kedai kopi. Dari tempatnya, sedikit prestisius dong. Naik kelas. Padahal hobinya sama: cuci piring-gelas juga, hehe. Bahkan sampai saya lulus dan bekerja, saya lekat dengan aktivitas ini. Lama saya merenung, kenapa di banyak tempat dan waktu, kita harus mencuci piring gelas ya? Saya rumuskan ada beberapa mutiara di baliknya.

 

Masih ada kehidupan

Bahwa apa yang dipakai hari ini sebagai wadah, harus dicuci agar nanti sore atau esok bisa dipakai lagi. Ada harapan bahwa kehidupan masih berlanjut. Memancar asa bahwa Sang Khalik masih memberikan kesempatan bernafas, menjelajah hari esok meski #dirumahaja.

Dari sudut sebaliknya, mencuci jadi peringatan. Jika tidak dilakukan nanti makannya dengan tempat kotor, atau berkutat bau "sedap" karena sisa makanan mulai busuk.

Pekerjaan murah, tapi tidak rendahan

Jika suatu tempat makan atau industri makanan dikatakan sukses, jangan hanya dilihat pelayan yang berpakaian rapi mencatat pesanan lalu menghidangkan ke meja anda. Atau tangan dingin sang koki yang mahir meracik bumbu dalam wajan yang digoyang-goyang dan diadu dengan spatula. Mereka ahli, sepakat. Tapi semakin ramai suatu tempat, makin "pemain belakang" dituntut kerja lebih keras. Tanpa pemain belakang ini, keahlian pelayan dan koki sekali pun tak berarti.

Keringat diperas sampai tuntas, upahnya tak selalu membebaskan dari kantong kering. Paling hanya cukup kalau tidak pas-pasan. Maka janganlah kita merendahkan pekerjaan mencuci piring-gelas atau pekerjaan murah lainnya yang memang mengandalkan tenaga bagaikan kuda. Tanpa mereka, meja pelanggan bakal kosong, tidak ada wadah yang siap untuk penyajian.

Emansipasi pria

Pria mencuci piring? Pasti salah menurut dunia modern. Bukan kodratnya tulang punggung mengurusi hal remeh di bak cuci/ wastafel. Tapi tunggu dulu, ada perspektif baru yang perlu kita kenali. Dalam salah satu bab bimbingan pranikah yang saya ikuti, dibukakan bahwa dalam sehari bakalan berkali-kali mencuci piring. 

Apalagi kondisi sekarang, bekerja dan belajar di rumah, membuat penghuni rumah mendadak jadi omnivora kalau bukan pelahap. Sedikit-sedikit makan, bakalan banyak wadah kotor habis dipakai. Istri, ratu dapur, bakalan kelelahan jika tidak dibantu. Syukur jika ada pembantu, kalau tidak?

Bakal makin parah jika sejak dini anak tidak diajari membantu urusan rumah, minimal mencuci bekas tempat makannya sendiri. Saya takkan berpikir ganda menanggalkan gengsi untuk menyingsingkan lengan, mencuci piring-gelas jika itu bisa membuat pasangan saya (kelak) merasa dicintai. Lagi pula, saya sudah terlatih sejak kuliah. (Direkomendasikan membaca buku Lima Bahasa Kasih, Garry Chapman)

Benar saja. Saat ini, saya masih tinggal dengan orang. Saya bisa dua kali mencuci piring-gelas, kecuali ingin mendengar cuitan ibu. "Masa satu hari mencuci sampai lima kali", keluh ibu. Wahai kaum lelaki, lebih penting mana: mempertahankan gengsi atau menyenangkan istri?

Makin banyak perkakas kotor; berarti makin produktif

Banyak makan kok produktif? O, jelas. Dengan mengunyah sesuatu di mulut, artinya kita (tubuh) menerima sejumlah energi yang diserap oleh usus, bahkan disimpan sebagai lemak. Entahkah energi ini dipakai untuk #kerjadarirumah, beberes rumah, melakukan hobi atau bekal untuk rebahan, tetap saja energi itu bakalan bermanfaat. Mau lebih berfaedah, pakai energi untuk menulis di Kompasiana leh uga loh!

Maka tak masalah banyak piring kotor setiap hari, karena itu berarti anda produktif. Termasuk jika energi yang didapat dipakai untuk mencuci piring yang seabrek, itu pun produktif. Anda telah menghasilkan piring-piring bersih.

Ilustrasi pincuk daun pisang, foto: Instagram/dapurlarose via INDTIMES
Ilustrasi pincuk daun pisang, foto: Instagram/dapurlarose via INDTIMES

Konsumsi jangka panjang

Salah satu prinsip ekonomi, "Beli sekali, pakai selamanya". Setidaknya itu teori bapak saya. Hemat pangkal kaya. Tapi tak kaya-kaya juga sampai sekarang.

Dengan mencuci kita bisa memakai kembali benda tertentu. Sebelum manusia mengenal teknologi (KBBI: cara untuk memudahkan kehidupan) plastik, alumunium, dan plat besi sebagai wadah, ada satu kecanggihan manusia yang disebut pincuk. Dengan wadah yang satu ini tidak perlu dicuci. Sekali pakai, buang, tidak perlu khawatir dimakan ikan di laut atau tak bisa busuk seperti halnya kantong plastik, karena bahan ini mudah layu, kemudian busuk dan diurai oleh bakteria dalam tanah.

Nah, kita bisa mendukung penggunaan teknologi tersebut di atas untuk jangka panjang dengan mencuci. Kecuali anda mau makan dengan alas daun pisang setiap hari.

Kamu sudah berapa kali cuci piring hari ini, guys?

Salam,

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun