Dudu klambi anyar sing ning njero lemariku, nanging bojo anyar sing mbok pamerke ning aku...
Kaum milenial yang tak tahu bicara atau logat Bahasa Jawa pun mendadak gandrung melantun dalam bahasa ini. Bukan karena kursus (memangnya ada kursus Bahasa Jawa?), bukan demi menyambut raja agung yang hanya bisa berbahasa Jawa, bukan pula agar lolos ujian praktik Bahasa Jawa. Penggalan lirik salah satu lagu pe-campursari kebangaan bangsa ini mewakili nasib, lalu diresapi para milenial patah hati negeri ini.
Dalam dunia musik, menyanyi adalah pekerjaan keabadian. Sobat Ambyar harus merengkuh duka karena sang pujaan, Didi Kempot telah berpulang pada usia 53 tahun, hari ini pukul 7.30 WIB di Solo (kompas.com). Sobat Ambyar yang sebelumnya menangis bahagia saat berdendang, kini ambyar-byar karena pujaannya turun panggung.
Bisa jadi, hari ini akan diperingati sebagai Hari Patah Hati Nasional
Didi tak melupakan asal kelahirannya dengan menciptakan lagu Stasiun Balapan (1999), stasiun terbesar di Kota Solo. Bahkan mengukir kenangan akan pesona pantai terkenal di Jogja, pada lagu Parangtritis. Dari campursari, karir bermusik Didi Kempot terus memancar bagaikan mentari.
Pakde Donisius Prasetyo berhasil menjadi prasasti abadi bahwa dia sukses melintasi zaman dengan bermusik. Bahwa musik daerah harus digaungkan sampai ke negeri orang.Â
Nyata bahwa nada yang dirangkai dari hati bisa menyentuh hati lain lintas ruang dan kalangan. Dari pemuda milenial sampai dewasa. Di jalanan hingga dapur rekaman. Dari lereng gunung sampai di atas panggung. Didi Kempot dan lagu-lagunya telah berakar di hati pengikutnya.
Sang Godfather rupanya anak berbakti, karena tak semua komposisi nada diperuntukkan bagi kekasih. Lagu Bapak, misalnya, mengungkapkan hormat dan kekaguman pada sang bapak atas jatuh bangunnya demi keluarga, tak mempedulikan raganya sendiri. "Bapak... bapak... tekadmu kuwi tak puji | Bapak... bapak... kowe koyo senopati | Senajan uwis tuwo nekat mempeng kerjo | Nyambut gawe kanggo nguripi kluargo"
Ada juga lagu bagi ibu. Menyuarakan kerinduan pada sang ibu yang lebih dulu berpulang meninggalkannya. "Ibu... wis kepenak panggonmu | Pancen wis pastine | Tak ikhlaske nggonmu ninggal aku... | Ibu... beninge toyo wudhu | Sing nentremke atiku | Sak ben eling kabeh ngendikanmu... | Ibu ora lali nyuwunku | Impenono aku..."
Dari banyak lagu bernuansa patah hati, tidak dilewatkannya perasaan kepada bapak dan ibu. Ini menjadi ekspresi kasih kepada orang tuanya. Pakde Didi diketahui berasal dari keluarga berada. Namun sejak muda bertekad ingin hidup mandiri, mengalahkan nasehat ayahnya agar cemerlang di sekolah.
Mewarisi darah senin ayahnya, alm. pelawak senior Ranto Edi Gudel, Didi tidak ingin numpang enak pada kakaknya Mamik Pondang yang sudah lebih dulu mengudara di dunia lawak Srimulat.