Oktober 2018 saya mendapat panggilan melayani di sebuah yayasan sosial di Salatiga. Padahal waktu itu masih terikat kontrak. Singkat cerita saya harus berpamitan dengan rekan guru, murid-murid dan keluarga pelayanan di gereja, termasuk ibu kos---yang meski tidak akrab, beliau cukup ramah.
Semua perlengkapan saya: pakaian, buku, dan perkakas pecah belah saya kirim via pos. Jika mau, motornya bisa dipaketkan melalui ekspedisi. Tapi, saya ingin berpetualang. Mumpung tinggal pulang, saya menjajal mental dan wawasan untuk turing. Tapi karena tanpa rombongan, saya sebut berkelana tunggal.
Malam sebelum tidur, dua kawan gereja datang ke kos, sekedar memberi kenang-kenangan berisi kolase foto kami saat liburan ke Jogja. Ah, aku bakal kangen kalian, kawan. Pukul 05.00 aku telah siap. Malam sebelumnya sudah pamit ibu kos, sedang teman kamarku ada acara kantor.
Berbekal petunjuk dari pak pendeta yang sudah pengalaman mengaspal Juwangi-Surabaya dan peta Google, aku meluncur. Tuhan yang menyertai perjalananku. Kiranya motor bebek pinjaman bapak ini tidak rewel di jalan. (Soalnya sering kebanan atau ngadat)
"Ikuti jalan besar, lihat petunjuk jalan. Jangan ikuti jalur bis ya", tutur pak pendeta. Setidaknya tiga kali aku mampir ke SPBU, isi bensin. Sekali mampir di tengah hutan, menyiram dahaga dengan es degan. Dan sekali makan di warung Padang, menjelang magrib.
Perhitunganku meleset. Menurut map harusnya perjalananku selesai dalam 10 jam. Nyatanya 12 jam lebih. Aku sering berhenti untuk mendinginkan mesin motor. Si bebek ini juga baru kali pertama melaju jarak jauh. Meski tak gesit, tangguh juga rupanya.
Menjelang pukul 20 aku baru tiba di pusat kota. Masih lima belas menit lagi menuju rumah. Lega, bangga, dan syukur tak terkira atas pertolongan Tuhan. Si bebek tidak ngambeg atau bertingkah macam-macam. Esoknya saat hendak mengganti oli, isinya habis. Waduh. Ikut terbakar, katanya. Meski capek dan menegangkan, tapi berkesan dan penuh nilai perjuangan. Pertama kali dalam sejarah, aku bisa menempuh 230km dengan motor bebek.
Pengalamanku yang ini disebut PULANG KAMPUNG. Aku meninggalkan tempat kerja di Surabaya, kembali ke kampung untuk mengerjakan pelayanan. Untuk waktu yang tidak pernah diketahui, aku tidak akan kembali ke Surabaya. Kecuali nasib menyeretku ke sana.