Ramadan tiba, Ramadan tiba, Ramadan tiba... Apa yang paling anda nantikan di bulan Ramadan?
Kota kuliner yang terkenal di Jawa Tengah, ya Salatiga! Tak percaya? Jika Kompasianer melintasi Jawa Tengah mampirlah ke kota mungil ini. Mau cari makanan jenis apa pun ada. Dari yang halal sampai non-halal, tersedia. Mau yang tradisional sampai fast food, ready. Mau bermanja di bangku empuk ala restoran atau merakyat di dingklik khas angkringan, siap.
Untuk kuliner (me)rakyat sebutlah soto, tumpang koyor, nasi kucing (kucingan), bubur ayam, nasi goreng ayam-pete-babat iso-ruwet, olahan berbagai unggas, modifikasi dedaunan, olahan kulit dan jeroan, olahan tahu beserta ampasnya (gembus), semua ada. Singkong, makanan khas wong ndeso pun di Salatiga bisa disulap menjadi banyak macam penganan, dari yang kering hingga basah, mulai kelas "ekonomi" sampai "bisnis". Suatu pengakuan bahwa manusia Salatiga memang kreatif.
Jangan lupakan wedang ronde (sekoteng) yang manjur menghangatkan pencernaan, cocok diseruput di malam dingin kota ini. Di balik gempuran minuman kekinian es kopi susu atau "teh gajah", pesona cendol dawet tak lekang oleh zaman. Sampai didendangkan oleh pedangdut sohor Didi Kempot, "Cendol dawe seger, limang atusan..." (Sambil tanpa sadar kedua jempol diangkat ke langit) Maka, tak ada ceritanya anda bakal kelaparan jika berada di Salatiga.
Salah satu kuliner yang bagiku unik adalah kolak. Mengapa unik? Meski dikenal sebagai kuliner pasar, kolak---ibarat buah yang adanya musiman---jarang ditemukan kecuali di bulan puasa. Kudapan berbahan dasar santan dan gula merah ini lincah berkolaborasi dengan pisang, labu maupun singkong serta ubi mewujud sajian menggoda. Apalagi ditambahkan es batu, aduhai... Nikmat mana yang kau dustakan.
Setiap datang bulan puasa di Jalan Jensud (Jenderal Sudirman), dan Jalan Pemuda Salatiga berjajar penjaja kolak dan aneka bubur. Menu takjil ini cocok untuk mereka yang baru pulang kantor, yang tak sempat memasak di rumah, ataupun anda yang memang doyan jajan.
Harganya berkisar antara Rp.5.000-Rp.10.000,- Semarak ini menciptakan atmosfer bagi kaum muda---khususnya---untuk menceburkan diri dalam lautan kuliner untuk kepentingan ngabuburit berfaedah. Tapi, itu dulu...
Dalam sepanjang sejarah perkulineran kota yang terletak di bawah lereng Gunung Merbabu, baru tahun ini jalanan tersebut lengang melebihi hari-hari biasa. Tiga hari sebelumnya, saat saya berlalu di ruas jalan utama tak ada satu pun display kudapan nan khas ini. Tidak ada tanda-tanda kalau bulan ini memasuki Ramadan, tak ada gereget untuk menyambut jam berbuka puasa. Barangkali mereka masih takut atau memang gigih untuk berjuang #dirumahaja. Rupanya saya sedikit salah. Kemarin saat saya kembali melintas, mereka sudah melapak dengan tetap menjaga jarak.
Ada yang membuka pintu belakang mobilnya menjadi meja lapak, ada pula yang memakai gerobak dengan berbagai orneman, entah untuk memikat pengunjung atau sekedar sebagai identitas. Tidak seramai tahun sebelumnya memang. Namun di sinilah eksistensi Kota Salatiga, tanpa kuliner jadi kurang populer. Tanpa kolak, Ramadan takkan semarak.