Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Piket, Suatu Taktik Melawan Corona

19 April 2020   16:48 Diperbarui: 19 April 2020   16:44 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini belanja sayur, besok beli bawang, minggu depan beli beras, awal bulan tagihan air, semester berikut bayar uang kuliah adik. Demikian menu ibuku yang membuatnya tak bisa bekerja di rumah. Perlu perhitungan dan bermacam analisis sebelum memutuskan. Itulah taktik. (Ayahku masih sehat dan bekerja, namun ada  kesepakatan tertentu di antara mereka menghasilkan kuk yang harus ditanggung ibu)

Ibuku buruh di sebuah pabrik roti di Kota Salatiga. Tenaga adalah satu-satunya modal, bukannya kepandaian atau keahlian yang diterjemahkan dari selembar ijazah, di samping niat mulia menopang perekonomian keluarga. Meringankan beban bapak, dan tentu saja demi masa depan anak. Aku tak berani membayangkan apa jadinya kalau ibuku hanya duduk diam di rumah, cuma mengandalkan pendapatan bapak yang juga buruh lepas; mau makan apa kami?

Jauh sebelum pandemi, ibuku harus mengedarkan otak supaya upah yang diterima cukup menyambung hidup sampai gajian berikutnya. Maka dalam kondisi seperti sekarang, jumlah hari kerjanya dikurangi menyebabkan upahnya tak sepenuh semula. Biasanya enam hari seminggu bekerja, kini tempat kerja ibuku menerapkan giliran dua hari masuk sehari libur. Semacam piket. Syukur bosnya masih memikirkan ratusan karyawan yang bakal kelimpungan makan apa jika mereka dirumahkan, seperti halnya dialami karyawan di kota-kota besar.

Ini salah satu kebijakan terbaik yang bisa menyelamatkan kedua pihak. Pabrik roti yang menggawangi dua toko di tiga kota di Jawa Tengah ini juga menerapkan prosedur standar bagi karyawan sebelum masuk gedung produksi. Security berseragam hitam sigap mengecek suhu tubuh dan menyemprotkan cairan disinfektan. Pernah ada dua orang teman ibu suhu tubuhnya mencapai 40 derajat, padahal tidak merasa gejala apa pun dan diminta pulang. Lebih baik dua orang itu tidak dibayar di hari itu daripada satu pabrik tidak bisa membayar semua karyawan.

Kamar mandi tempat ibuku bekerja terletak di sebelah luar, dekat pintu masuk. (Kok aku tahu? Secara aku pernah mencicipi memungut rupiah di tempat itu) Tanggung jawab petugas berseragam hitam itu pula untuk menyemprotkan disinfektan sebelum kembali masuk. Ribet ya. Memang begitulah SOP yang harus dipatuhi.

Turut perihatin dengan mereka, penghuni pasar yang tak pernah dapat jatah piket. Bagaimana mau piket, sedang tiap hari masuk pun kebutuhan harian berjubelan minta dipenuhi.

Di sektor pendidikan, sebagai pemburu rupiah aku pun diberi jatah piket. Rekan-rekanku mayoritas adalah guru muda yang kesehariannya tidak lepas dari teknologi. Maka, tak terhalang menyiapkan pembelajaran jarak jauh. Meski tersedia fasilitas internet dan komputer, kami belum bisa sepenuhnya memberlakukan pembelajaran online dengan platform yang banyak ditawarkan. 

Maklum, ada target khusus yang harus kami raih, yang muatan pembelajarannya harus dikelola oleh gurunya sendiri. Yang kami ajar adalah anak SD. Bahkan dari pihak orang tua office pun tidak semua tahu menggunakannya.

Kami piket seminggu sekali, setengah hari dari jam 08-12. Sebelum memasuki gedung sekolah, ibu-ibu penjaga sekolah telah siap dengan alat penyemprot. Setelah cuci tangan dengan sabun di deretan wastafel, seluruh pakaian penutup badan---bahkan wajah---kami ditaburi disinfektan. SOP. 

Perihal cuci tangan pakai sabun, anak-anak di sekolah kami sudah dibudayakan sebelum makan snack atau bekal makan siang. Bukan hal baru. Hanya, menyikapi situasi seperti sekarang kami perlu lebih rajin cuci tangan. Sesering mungkin.

Pagi itu kami awali dengan briefing yang dipimpin kepala sekolah. Berisi informasi dari dinas tentang kebijakan-kebijakan yang harus dilaksanakan tiap satuan pendidikan. Termasuk dalam hal perpanjangan waktu belajar di rumah, komponen Penilaian Akhir Tahun (PAT) hingga kriteria kenaikan kelas dan kelulusan para siswa kelas 6. Tak lupa pengolahan laporan hasil belajar anak (rapor). Begitulah, semua keruwetan administrasi yang biasanya kami lahap sambil bertatap muka, kini beralih daring. Kemungkinan rapor pun akan dibagikan soft copy.

Setelah semua informasi disampaikan, babak yang ditunggu-tunggu pun tiba... Membuat perangkat pembelajaran. Heyaaa...

Kompasianer tahu lah, satu perangkat pembelajaran untuk seminggu ke depan takkan mungkin diselesaikan dalam waktu empat jam dikurangi waktu briefing sejam lebih, apalagi untuk guru yang mengajar lebih dari satu mapel (FYI, meski jenjang SD pengajar di sekolah kami adalah guru mapel, bukan guru kelas). Tematik misalnya, komposisinya tiga sampai empat muatan pelajaran dari setiap tema. Tak mungkin hanya membuat satu perangkat pembelajaran.

Baca juga: K13 Asik Asalkan Gurunya Cerdik

Kami harus mengacak isi kepala agar pembelajaran yang kami buat bisa sesuai porsi, bobot dan kesanggupan anak mengerjakannya di rumah. Belum lagi waktu merancangnya. Dari sinilah #workfromhome kami hayati. Kewajiban piket hanya seminggu sekali, tapi menangani printilan-nya bakal setiap hari.

Melalui kemasan Microsoft Word kami membagikan summary yang disesuaikan, menjadi semacam petunjuk siswa belajar di rumah bersama guru baru mereka, kaum emak-emak. Ada tugas menulis, mengisi tabel membuat diagram atau menggambar yang dikerjakan di buku tugas. Pada waktu yang ditetapkan pihak orang tua harus ke luar rumah untuk mengumpulkan di meja yang sudah disediakan di sekolah, atau untuk tugas tertentu cukup dikirim bukti foto melalui WA atau email.

Pada waktu piket terdapatlah benih kebaikan yang ditabur. Saat seluruh penjuru masyarakat kehabisan handsanitizer, ada orang tua murid yang membagikannya gratis kepada staf dan guru. Sedang poster "Masker kosong" menghiasi apotek-apotek, pihak yayasan menawarkan masker kain murah meriah. Syukurlah. Bisa dipakai menjadi APD bagi kami.

Baca juga: Libur 14 Hari, Berkah atau Masalah?

Tak hanya by text, kami mengombinasikan pembelajaran dengan Google classroom dan video. Jadi kami menjabarkan materi di kelas selama maksimal 30 menit, lalu direkam dengan kamera smartphone, lalu diedit, ditambah subtitle, efek tampilan atau backsound, dipotong sana sini, lalu diekspor. 

Video yang sudah fix dibagikan di grup kelas sebagai panduan belajar. (Anak SD di sekolah kami sudah punya gadget pribadi) Atau beberapa guru lebih suka mengunggah video di channel Youtube dan membagikan tautannya pagi jam 08 sesuai jadwal yang sudah diatur. Sore harinya dibuka ruang tanya jawab terkait dengan materi pembelajaran.

Saya pribadi senang, kerja dari rumah tapi masih dibayar penuh, meski jiwa merana tak bisa mengajar sungguhan. Beda halnya dengan pekerja seperti ibu saya yang gajinya ditentukan jumlah hari masuk. Kalau boleh, mereka pasti memilih tetap bekerja seperti hari biasa.

Corona mungkin membatasi ruang gerak kita. Namun, dengan kemampuan adaptasi yang tinggi, tidak ada ruang untuk berpikir menyerah, apalagi gegabah. Kami melawan Corona dengan kegiatan piket. Bagaimana dengan anda?

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun