Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ternyata Kanji Beda dengan Terigu

16 April 2020   19:39 Diperbarui: 16 April 2020   19:36 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penampakan pisang goreng yang digoreng dengan kanji (sisi kiri), foto: KRAISWAN


Kebaruan apa yang kamu munculkan dalam rangka #workfromhome, demikian ajakan sekaligus tantangan dari salah seorang Kompasianer. Dengan setengah suara aku menjawab: tidak ada. Ironi, memang.

Lha mau gimana ya, menulis konsisten di Kompasiana sesuai S & K yang berlaku, yang aman tidak mengakibatkan kakak-kakak moderator didatangi polisi pun susah minta ampun. Sudah ikut Blogshop lho itu. Macam mana pula mau menelurkan kebaruan.

Tapi siapa sangka, unsur kebaruan itu muncul pada insiden belepotan banjir minyak di dapur ibu suatu sore yang mulanya tenang. Berikut kronologinya.

Bapakku ada panen pisang, lumayan melimpah lah, yang takkan habis dimakan satu keluarga dalam tiga hari. Jenis pisang ini tidak laku di pasaran, pisang uter kalau Kompasianer tahu. Jadi memang untuk dikonsumsi sendiri dan dibagi pada rekan.

Dengan PD aku ambil tepung dari kotak penyimpanan, aku tuang dalam baskom plastik sekitar 250 gram, tambahkan gula pasir setengah sendok, sejumput garam (dua lis terakhir ini resep rahasia ibu) lalu byurr, kusiram dengan air. Aduk, aduk, aduk, jadilah adonan. Lanjut, aku kupaslah pisang, kubelah dua tapi tak sampai putus. Rencananya mau dibikin macam pisang kipas gitu.

Aku merasa mulai janggal kala adonan buatanku tetiba keras macam otot yang kram, padahal wujudnya cair. Kompasianer yang hobi baking, tentu tahu ya adonan bisa rusak dalam rentang waktu tertentu. Tapi, belum juga lima belas menit berlalu sejak adonanku jadi.

Pikirku, apa jangan-jangan kebanyakan garam lalu membuat adonan lebih cepat mengeras. (Menurut pengalaman, saat bapakku menyembelih ayam, darah yang mengucur dari pembuluh darah di leher ayam disisihkan dicampur garam agar cepat mengental. Jadi spekulasiku, garam juga bisa mengentalkan adonan). Masa bodo. Wajan telah terpasang, api menyala, minyak mulai panas.

Adegan pertama. Pisang satu, masuk. Pisang dua, tiga, sampai empat sudah tenggelam dalam minyak, menimbulkan gelembung-gelembung. Oh, tambahkan bahwa memasak dengan api tungku butuh keahlian lagi kesabaran guys. Kalau api kegedean gosong, kalau kekecilan ludes.

Tips #1. Kalau mau melatih kesabaran, masaklah dengan tungku. Dijamin belum tentu sukses, hehe. Tak seinstan kompor gas atau listrik atau kompor berteknologi magnetik.

Nah, beberapa hari sebelumnya, aku telah menggoreng pisang juga (aku cincang pisangnya), dan baik-baik saja kok. Tidak ada masalah. Kali ini, sudah hampir lima belas menit, si pisang tak menunjukkan wujud bahwa itu pisang yang digoreng. Masih basah, kenyal-kenyal malah jadi kayak cireng, lengket pula! Waduh.

Biarlah, mungkin karena api tungku belum maksimal, jadinya panas minyak belum sempurna. Masih penggorengan pertama. Usaha menghibur diri.

Adegan kedua. Jeng jeng... Sama. Dilihat sebelah mata pun, pisang ini tak layak dimakan. Penasaran, aku cek tepung yang masih dalam bungkusnya. Aku pegang dan remas-remas. Krik krik... Ada yang aneh. Aku buka kotak penyimpanan dan mendapati di balik plastik hitam juga terdapat tepung. Seingatku, aku sendiri yang menutup plastik hitam itu kemarin, yang di dalamnya berisi terigu.

Berarti... tepung yang aku pakai untuk menggoreng pisang adalah...Hadeuh, ini bego kok ndak sembuh-sembuh ya...


Memasak nasi jadi gosong adalah ajaib. Tapi menggoreng pisang dengan tapioka karena tak tahu membedakan dari terigu rupanya aib


Mempermalukan menteri ketahanan pangan, mengejek mbak-mbak waiters tempat langganan belanja di pasar, serta menghina dunia ketatabogaan nasional.

Melihat polahku, barangkali Chef Juna bakal melemparkan wajan penggorengan padaku. Lebih berguna menimpa wajahku, daripada dizalimi menjadi tempat menggoreng pisang dengan kanji. #tutupwajahpaketangan

Aku malu lah sejadinya. Betapa tidak. Pertama aku guru (swasta) yang notabene pengetahuannya harusnya luas ya kan, pernah kerja di kafe (meski pun jabatan waiters), sudah begitu dua hari sebelumnya melakukan hal serupa. Kenapa kali ini jadi kacau?

Tips #2. Teliti sebelum unjuk gigi.

Kompasianer pastinya tahu, kanji dan terigu ternyata beda. Yang satu warna putih bersih, lainnya putih kusam. Itu paling mencolok, anak SD pun tahu. Kedua, jika diremas atau digosok-gosokkan pada jari tangan kanji akan mengeluarkan nada kurang lebih "kret krett".

Nah, sayangnya dalam kasusku aku tak menyimak syarat pertama. Tak ingat pula ada dua jenis tepung dalam kotak. Sudah begitu, waktu aku gosokkan dengan jari, bunyi kret-nya itu tidak kentara. Gawat memang.

Kuanggap, itulah kebaruan-tidak-penting, yang minim manfaat, yang aku alami dalam masa kerja di rumah. Semoga kelak ada hal lebih bermanfaat yang bisa diceritakan di sini. Ingat ya guys, kanji beda dengan terigu!

Salam,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun