Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Ulasan Buku "Cinta yang Berpikir"

20 Februari 2020   00:12 Diperbarui: 20 Februari 2020   00:34 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak metode yang bisa diterapkan untuk mendidikan anak-anak dengan cara merdeka. Terlalu picik jika kita menghakimi anak "sukses" atau "gagal" hanya dari daftar angka pada rapor---senjata utama pendidikan formal untuk mengelompokkan siswa menurut kepintarannya. Salah satu metode yang Charlote usulkan, yang disetujui oleh Ellen adalah homeschooling.

John Holt (seorang guru di Amerika era 1970-an) meyakini bahwa pendidikan ideal yang ia harapkan tidak akan pernah tercapai lewat sistem pendidikan formal. Dia memakai istillah unschooling, mengeluarkan anak dari sekolah (padanan kata dari homeschooling). 

Melalui metode ini, anak belajar apa yang mereka mau, ketika dia mau, dengan cara yang dia mau, di tempat yang dia mau dan untuk alasan-alasan yang dia mau. Kendali pembelajaran sepenuhnya ada pada anak. Bantuan dari orang dewasa hanya diberikan saat ia menghendakinya. Wah, barangkali ini yang namanya merdeka belajar. Bayangkan, apa jadinya jika metode ini diterapkan di Indonesia, sedangkan anak-anak kita sudah di-setting untuk didikte.

Unschooling merupakan gaya hidup. Dua orang anak sama-sama berusia 15, sama-sama duduk di balik meja mengerjakan soal-soal geometri, menggunakan bahan-bahan yang persis sama (kertas, pensil, penggaris, dan jangka). Buku teksnya pun sama. Abi merupakan siswa sekolah formal, Beni unschooler. Sekilas tak akan nampak perbedaannya. Namun, perlu ditengok keseharian masing-masing dan alasan mengapa mereka duduk berhadapan dengan soal-soal geometri.

Geometri adalah salah satu pelajaran di sekolah Abi. Soal-soal tersebut mirip PR yang diberikan guru geometrinya. Abi sebetulnya suka geometri, namun dia tak bisa lama-lama berkutat dengan konsep sudut dan segitiga. Masih banyak daftar PR yang harus diladeninya, lagipula besok akan ada ulangan Bahasa Inggris.

Sementara itu, Beni si unschooler, dia sama sekali tak pernah mengecap sekolah formal. Pada musim semi yang lalu, dia membantu orangtuanya membuat wadah-wadah bibit bagi kebun sayur mereka. Dia memperhatikan ayahnya sibuk mengukur garis diagonal wadah-wadah itu untuk memastikan bahwa bentuknya segi empat sama sisi. 

Beni tertarik dan menanyakan banyak hal tentang sudut dan bentuk-bentuk geometris sementara mereka bekerja. Atas dorongan rasa tertariknya, Beni pergi ke perpustakaan dan toko buku untuk membaca lebih banyak tentang geometri, dan lalu memutuskan untuk belajar lebih dalam dari buku teks. Saat merasa sudah paham, dia langsung melaju ke bab berikutnya. 

Dari buku tersebut Beni mengenal istilah Euclid dan non-Euclid, lalu menanyakan hal itu kepada ayahnya. Rupanya pengetahuan ayahnya terbatas, namun ia berjanji akan mencarikan orang lain, temannya yang ahli matematika, untuk menjelaskan kepada Beni tentang materi tersebut. here

Sampai di sini anda paham perbedaanya? Hasrat dalam belajar. Yang satu dipaksa mengerjakan, dibebani PR; sedangan yang lainnya berdasarkan pengalaman langsung, lalu mencari tahu secara mandiri. Saya khawatir bahwa teori yang diajarkan di sekolah formal terpisah dari kehidupan nyata anak-anak, terkurung dalam tembok sistem pendidikan.

Itulah mengapa, jalur informal bisa menjadi alternatif pendidikan anak. Bandingkan: Suatu sekolah di belahan dunia lain mengizinkan petani mengajar di dalam kelas. Murid-murid jadi tahu, bagaimana proses padi ditanam, dirawat hingga menghasilkan beras yang akan diolah menjadi nasi yang mereka makan. Bagi saya, itulah satu dobrakan kecil menembus keterpisahan teori dari kehidupan nyata (Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela).

Keluarga, dalam hal ini orang tua, harusnya menjadi pihak pertama sebagai fasilitator belajar anak. Sayang sekali tidak banyak yang mendapat pengalaman seperti Beni, termasuk saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun