Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ribut Zonasi, Daftar Ini Wajib Lebih Dulu Diberi Atensi

6 Juli 2019   12:01 Diperbarui: 6 Juli 2019   12:05 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti halnya anak sekolah, mustahil pendidikan nasional tak punya Pekerjaan Rumah untuk diselesaikan. Ganti menteri ganti kurikulum (yang berarti ganti juga buku cetaknya), pro-kontra dihapusnya Ujian Nasional, kebocoran soal UN, sampai yang paling hangat, sistem zonasi.

Sebagai komentator yang mengangkat diri sendiri, jari tangan saya gatel untuk tidak mengetik isu pendidikan. Maka, pembaca yang budiman, harap dimaafkan jika ke-sok tahuan saya mengakibatkan merah telinga.

Perkembangan teknologi yang demikian gencar mengimbas pada banyak bidang, tak terkecuali pendidikan. Adakah pendidikan kita sudah berkembang sejalan usia zaman? Apakah langkah pemerintah (mendikbud) dalam membuat kebijakan selama ini sudah bijak? Sebut saja UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer). 

Nasional loh ya, berarti berlaku di semua sudut nusantara. Dari sharing beberapa rekan panitia UNBK, mau masuk ke server saja seret, menjelang subuh baru bisa. Di Jawa loh ini, tak perlu dibahas daerah 3T. Saya khawatir, mendikbud latah dengan teknologi sehingga kebijakan nasional tidak benar-benar siap dikatakan nasional.

Zonasi menjadi isu menarik sejak diterbitkan pada 2017. Demi pemerataan pendidikan, katanya. Yakin? Tapi kok menyebabkan ribut...? Dua tahun dinasionalisasi, dampak kebijakan ini mencuat ibarat gunung meletus: banyak protes dari orang tua yang khawatir anaknya tak bisa masuk sekolah favorit. 

Jika kembali disinggung teknologi, aplikasi Azimuth yang digunakan panitia PPDB untuk mengukur jarak tempat tinggal anak ke sekolah tidak masuk akal, yaitu di tengah samudra. Ini orang tua yang salah menuliskan alamat, atau aplikasinya yang eror? Tidak mungkin kesalahan terletak pada petugas, karena sudah kenyang dengan pelatihan dari pemerintah!

Sebelum melanjutkan lomba protes tentang alotnya sistem zonasi, baiknya kita memperhatikan beberapa poin berikut.

*Sekolah favorit-nonfavorit

Predikat "favorit" yang disematkan pemerintah telah mengakar dan berkembang biak di masyarakat. Wajar, orang tua lalu mahir memilah yang favorit dari yang bukan untuk anaknya. 

Gengsi barangkali, jika anaknya tak masuk sekolah favorit. Kondisi bangunan, sarana-prasarana, kualitas tenaga pengajar, prestasi sekolah, sampai profil lulusan merepresentasikan predikat yang dimaksud. 

Daftar itu juga yang akan dinilai saat akreditasi sekolah. Berikutnya, yang disebut favorit akan mendapat kucuran dana untuk pembangunan dan pengembangan. Yang maju makin berkualitas, yang terbelakang makin tertinggal (baca: daerah 3T).

Siapa yang tidak bangga jika anaknya bisa masuk sekolah favorit. Selain fasilitasnya lengkap, jaminannya adalah berpeluang besar masuk perguruan tinggi negeri (yang juga favorit). Pertanyaannya, apakah yang belajar di sekolah bukan favorit tak bisa meraih impian? Orang nomor satu di negeri ini memegang kuat amanat ayahnya, dimanapun sekolahnya asal belajar sungguh-sungguh pasti berhasil meraih impian.

Alangkah bijak jika sebelum meratakan pendidikan pemerintah secara bertahap menghapuskan label favorit non-favorit dan memfavoritkan semua. Yang berarti semua sekolah memiliki kualitas yang sama, setidaknya minim kesenjangan. 

Favoritisasi semua sekolah harus dilakukan dengan perencanaan terstruktur dan menyeluruh (dan saya yakin tidak selesai dalam satu periode jabatan mentri); bukannya menerapkan zonasi lalu bim salabim terjadi pemerataan. Logika berpikirnya terbalik menurut saya.

*Nilai ujian

Daripada pemerataan, menurut saya frasa yang lebih tajam adalah keadilan, tidak memihak. Artinya, entah di Jawa atau luar Jawa, di kota atau desa, harusnya mendapat porsi dan perhatian yang adil dari pemerintah.

Adanya penerapan kebijakan zonasi menyebabkan pihak orang tua merasa ruang gerak anaknya dibatasi untuk memilih sekolah dambaan, padahal berprestasi. Salah satu orang tua mengeluhkan anaknya meraih nilai ujian cukup tinggi tidak bisa diterima di SMA yang diinginkan---yang tentu saja favorit!---karena tempat tinggalnya berada di luar zona yang masih satu kota. 

Sedangkan anak lain yang tinggal di kawasan kota, yang nilainya biasa saja, otomatis diterima. Pemerintah hendaknya ingat stigma yang melekat di masyarakat, "Nilai (angka) menjadi penentu masa depan".

Saya pribadi sepakat, angka bukan satu-satunya penentu, tapi setidaknya menjadi filter penerimaan peserta didik supaya mereka juga makin termotivasi untuk giat belajar. Buat apa aku belajar, les sana-sini kalau dengan nilai seadanya bisa diterima di sekolah unggul. Apa komentar pemerintah? Berikutnya pendidik yang akan disusahkan karena motivasi belajar anak menurun.

Terlepas dari label favorit, setiap anak berhak memilih ingin sekolah dimana. Dia juga berhak mendapatkan lingkup pergaulan yang lebih luas, tidak hanya di sekitar tempat tinggalnya.

Lucunya lagi, dari keterangan diskominfo, dengan diberlakukannya sistem zonasi akan kelihatan daerah mana yang masih kelebihan atau kekurangan murid dan guru, akan dilakukan rotasi guru, dst. Mengapa harus dibuat zonasi dulu baru didapatkan data? Kenapa harus dizonasi dulu baru dilakukan rotasi? Logika berpikirnya terbalik lagi.

Kiranya pak menteri dan jajarannya mengkaji ulang kebijakan ini sebelum bertambah daftar protes dari masyarakat. Sampai-sampai ada selentingan netizen supaya mengganti mentri yang tahu pendidikan.

*Tujuan pendidikan

Sejatinya, tujuan apa yang ingin dicapai pendidikan kita? Menciptakan guru---yang menguasai semua subjek; pekerja---yang mengerahkan seluruh otot demi bisa makan; atau inovator---yang menemukan solusi atas permasalahan bangsa? Atau, lebih parah, sekedar supaya ada lulusan setiap tahun?

Sinkronisasi antara kualitas lulusan dengan kebutuhan lapangan lebih penting dipersiapkan sejak jenjang sekolah dasar, dibandingkan kebijakan-kebijakan yang katanya untuk pemerataan. Jika mau pendidikan maju, benahi dulu sistemnya. 

Mulai dari kelengkapan sarana prasarana, kualitas pengajar, dan kepastian kurikulum. Jika tujuannya jelas, maka sistemnya juga akan jelas. Tidak harus mengkotak-kotakkan peserta didik berdasarkan zona tinggalnya. Saya yakin bahwa seorang yang sekolah di desa sekalipun bisa berhasil, jika aspek-aspek tersebut di atas terpenuhi. (Baca juga: Jadi apa di masa depan?)

Demikian pesan saya untuk pemerintah. Hendaknya sistem yang dijalankan terus dikaji, apakah lebih banyak menguntungkan atau merugikan masyarakat. Karena percuma kebijakan secanggih apapun dibuat jika ujungnya menyengsarakan masyarakat luas. Jangan sampai tudingan "ada kepentingan para elit" mendekati kebenaran.

Bagi para orang tua, hendaknya bersabar. Anaknya pasti dapat sekolah, hanya di sekolah mana yang mungkin tidak sesuai harapan. Mengkritik adalah sah, namun jangan menghanguskan semangat belajar anak. Kiranya semangat belajar anak-anak kita tetap menanjak sekalipun kebijakan tak berpihak.

Watuagung, Jawa Tengah

6 Juli 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun