saat bintang jatuh
kuda kuda liar
dikejar bayang
dan kegilaan
saat bintang jatuh
napsu di kekang
tinggal hasrat
dan kesakitan
saat bintang jatuh
langit hilang
ditelan gelap
dan kematian
saat bintang jatuh
kuda kuda liar
dikekang cahaya bulan
dan remuk redam
saat bintang jatuh,
perih
sendiri
menggigil, dilumuti sepi
dan itu
bukanlah ilusi ...
(bukanlah ilusi, 9 April 1994)
Sebelum menulis puisi hari ini. Aku telah membaca dua puisi rekanku di KOMPASIANA milik SANTOSA SAJA dan ERLINDA.
Dan aku pun telah membalas nya dengan komen puisiku pula, gak tau nyambung atau gak ?. Yang penting aku terhibur.
Hehehe ... asyiknya berpuisi ria ....
Inilah sebuah komen puisi yang aku kirim untuk : “Menalar Rindu” nya : SANTOSA SAJA
pagi-pagi bikin puisi
berarti hati tak lagi sedih …
siang-siang bikin puisi
hati riang jadi meriang
petang-petang bikin puisi
rindu yang ku tanak tak matang-matang
malam-malam bikin puisi
jangan kau buat hatiku kelam
Dan ini komen puisi yang ku kirim untuk : “Puisi Salju Beku & Satu Bunga” nya : ERLINDA
matahari
masih bermimpi
bulan di pinang menjadi istri
matahari
pucat pasi
di pagi ini bulan tak jadi datang kemari
bulan
ingkar janji
meninggalkan matahari seribu teka teki…
Hehehe, pokok nya lagi asyik berpuisi ria … dengan spontan menjawab puisi dengan puisi , kata-kata yang begitu saja terlintas di otakku yang SUMPEK seperti lalu lalangnya .lalu lintas alam semesta.
Dari pada SUMPEK terus… ngomongin’ Korupsi (baca : Pemberantasan Korupsi di Indonesia) sama saja dengan ngomongin’ PEPESAN KOSONG.
Benar-benar "PEPESAN KOSONG".
Bogor, 23 Agustus 2010
Wans_Sabang
Rintik hujan di sore hari,
Apakah rintik ini benar-benar air mata ibu pertiwi ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H