Akhir-akhir ini banyak ratusan bahasa yang pernah ada dan telah dikenal, sedang mengalami kepunahan dan ratusan lainnya juga mengarah kepada hal tersebut selama setengah abad ini (Fishman, J.A. 2000). Penyebabnya ada beberapa hal, antara lain pengaruh kolonialisme, tidak adanya komunitas pemakai bahasa tersebut atau ada bahasa yang lebih dominan di wilayah tersebut daripada bahasa lainnya.
Tulisan ini tidak akan membahas masalah-masalah yang rumit, karena hanya akan menekankan tentang pentingnya pelestarian bahasa di kalangan para Diaspora yang semula memiliki bahasa asli, namun tidak lagi bisa melestarikannya kepada generasi selanjutnya, karena bermigrasi ke luar negeri. Sehingga anak-anak tak lagi bisa menyebutnya sebagai bahasa ibu (mother tounge).
Jika melihat sejarah kolonialisme, bangsa Indonesia sudah selayaknya menghargai dan mengingat peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saat itu untuk pertama kalinya telah di ikrarkannya bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Sejak saat itu beberapa kali pembenahan dilakukan dan akhirnya bahasa tersebut menjadi bahasa yang dipakai dari Sabang sampai Merauke dan kini telah digunakan oleh hampir 300 juta orang di Indonesia.
Tentu masih banyak kekurangan di sana-sini, namun jika melihat negara-negara yang terjajah di seluruh dunia yang tak bisa lagi memiliki identitas diri dalam bahasa, maka bangsa Indonesia sudah selayaknya bangga dengan bahasa ini. Di Afrika, hampir semua negara memakai bahasa Inggris, Portuguese atau Perancis. Di tempat lain seperti Guam, bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris Amerika, Tahiti berbahasa Perancis, kemudian negara-negara persemakmuran Inggris, hampir dipastikan tak ada yang bisa mengenal bahasa asli mereka karena telah berbahasa Inggris.
Sebagai penduduk asli di jaman penjajahan, tak ada kesempatan bagi mereka untuk bisa memakai bahasa mereka sendiri dan sekaligus sebagai tanda bahwa penjajah tersebut pernah berada serta berkuasa di negeri itu, dengan menghancurkan semua identitas yang tak hanya menyangkut budaya, namun juga bahasa mereka dengan hanya mengijinkan bahasa penjajahlah yang dipergunakan di wilayah-wilayah jajahan.
Di Indonesia, tak ada satupun penjajah yang bisa dengan bangga mengatakan dan meninggalkan jejak dominan dan merasa telah menjadi pemeran utama di negeri itu karena adanya Sumpah Pemuda 1928. Sejak saat dikumandangkan, semua wilayah memakai bahasa Indonesia tanpa kecuali, dan pemerintah Indonesia tetap bisa menghidupkan bahasa daerah bersamaan dengan berkembangnya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Sungguh prestasi yang luar biasa.
Sayangnya banyak Diaspora Indonesia yang tidak lagi mengajarkan bahasa tersebut kepada anak-anak mereka setelah bermigrasi ke negara lain. Bahasa Indonesia seperti hilang dalam keluarga mereka dan penguasaan bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu jarang sekali bisa diwujudkan dengan berbagai alasan. Ini berbeda dengan Diaspora Cina dan Jepang. Sebagian besar dari para Diaspora ini tetap bisa mempergunakan bahasa mereka dengan baik, bahkan bisa tetap menuliskan huruf-huruf bahasa mereka sesuai dengan kaidahnya. Tentu saja tidak semua bisa semahir itu namun terlihat bahwa mereka berusaha untuk tetap mempertahankan dan mengajarkan pada anak-anak sebaik mungkin.
Bagian yang seringkali dilupakan oleh sebagian Diaspora Indonesia adalah, di dalam tatanan kehidupan global saat ini kemampuan seseorang untuk bisa memiliki lebih dari satu bahasa adalah suatu tuntutan. Jika mungkin dua atau tiga bahasa sekaligus. Mempertahankan bahasa ibu, adalah cara termudah untuk memiliki lebih dari satu bahasa di luar negeri. Metode seperti ini tidak perlu biaya kursus, atau sekolah bahasa karena diajarkan oleh pemilik asli bahasa tersebut.
Dalam bisnis dan pekerjaan, saat orang lain mengetahui calon pasangan kerja atau calon karyawan berasal dari etnik atau bangsa tertentu, mereka berasumsi bahwa orang tersebut memiliki bahasa ibu selain bahasa Inggris. Kemampuan ini adalah keahlian khusus, terutama jika itu dimiliki oleh seseorang yang menguasai dengan mahir bahasa ibunya, maka ini akan menaikkan nilai jual dirinya dalam banyak hal.
Di Indonesia, rata-rata orang di daerah memakai bahasa asli daerah saat berbicara dengan keluarga, misalnya dengan bahasa Jawa, Sunda atau Bali. Namun semua media resmi, televisi, bahasa di pemerintahan dan pelajaran di sekolah memakai bahasa Indonesia. Artinya sebagian besar orang Indonesia telah memiliki dua bahasa secara alamiah. Sehingga tidak ada hal baru bagi para Diaspora Indonesia di negara lain untuk tetap bisa berbahasa Indonesia, bersamaan dengan pemakaian bahasa di tempat mereka tinggal di seluruh dunia. Jika ada pertanyaan dari orang lain, ”Anda bisa berbahasa Indonesia?”, dengan bangga kita bisa menjawab,”Tentu saja…, ini bahasa yang dipakai hampir 300 juta orang. Bahasa Indonesia tidak akan pernah hilang dari kehidupan kami”. Semoga bahasa Indonesia tetap menjadi bagian dari kecintaan kita pada Indonesia. Karena bahasa adalah salah satu identitas diri kita sebagai bangsa.
Reference
Fishman, J.A. (2000). Can Threatened Language Can be Saved?Why is it so Hard to Save Threathened Language. Sydney: Multilingual Matters Ltd. P1-5
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H