Mohon tunggu...
Wantii "Wr"
Wantii "Wr" Mohon Tunggu... -

^Menjadi Wanita itu menyenangkan^\r\nMengumpulkan keberanian untuk MENULIS...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Anak-anak Tanpa Cinta 1

11 Februari 2014   14:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:56 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tertekan, terintimidasi dan entah apalagi gangguan psikologis yang sebenarnya sedang aku alami. Aku menamakan diriku "anak-anak tanpa cinta". Ketika aku lahir, kata Ibuk aku tidak langsung menangis (karena aku masih lahir ditolong oleh dukun bayi, jadi belum ada yang tau kalau mungkin terjadi asfiksia terhadapku). Jika boleh aku menafsirkan dengan bahasa ngawur, mungkin saat itu aku sedang marah, marah kenapa aku harus terlahir ke dunia yang penuh dengan tipu daya ini. Tapi akhirnya aku menangis juga, mengharap belas kasih dari Bapak, Ibuk, juga orang-orang yang ada disekitarku kelak.

***

Aku adalah seorang balita pada saat itu, yang pasti belum genap 3 tahun. Aku sudah dikenalan dengan pertengkaran kedua orang tua. Padahal, sebagai putri pertama mereka seharusnya rumah ini penuh dengan canda tawa & kebahagiaan. Aku terlahir dari pernikahan mereka yang sama-sama saling mencintai sejak remaja,

Kebahagiaan, kasih sayang, kehangatan cinta kasih, perlindungan dan rasa aman sudah tidak ku dapatkan secara utuh. Yang aku tahu mereka bertengkar, yang aku tahu Bapak suka main tangan jika sedang marah. Orang ketiga, itulah yang jadi pemicunya. Aku ketakutan, merinding, & hanya bisa menangis mendengar Bapak membentak, berbicara dengan nada sangat tinggi. Begitulah hari demi hari yang kulalui, selalu ada saja yang salah dimata Bapak sehingga membuatnya sering berlaku kasar.

Ketika aku menulis ini, dadaku terasa sangat sesak. Aku takut tak kuasa menahan amarah dan air mataku jika harus terus mengulas masa-masa yang kelam seiring pertumbuhan diri dan perkembangan mentalku.

***

Entah berapa kali sudah tubuh ini terkena tamparan dan hardikan tangan bahkan kaki Bapak. Aku tidak ingat jelas saat itu usia berapa, yang aku ingat aku masih duduk dibangku taman kanak-kanak. Bersama teman sepermainanku, aku pulang sekolah jalan kaki berdua. Sebagai seorang anak kecil, tentu bermainlah yang selalu ingin dilakukannya. Bermain bersama teman sebaya tentu sangat menyenangkan. Namun, kesalahan memang telah kulakukan. Jadwal pulang sekolahku adalah pukul 10.00 wib, namun waktu itu karena terlalu asyik mampir bermain di rumah teman sehingga aku lupa waktu, dan pulang kerumah pukul 13.00 wib.

Marah, aku sudah pasti dimarahi Bapak. Karena pada saat itu hanya Bapak yang berada di rumah, sementara Ibuk kerja harian di kebun sawit milik salah satu Perusahaan kebun sawit di daerahku. Akan tetapi aku tidak pernah menyangka, aku pun tak pernah membayangkan Bapak akan semarah apa. Dengan usia sekecil itu, balita yang sangat lugu dan polos, tak pernah tergambar akan diperlakukan sangat kasar oleh orang tuanya sendiri.

Bapak, entah mengapa beliau sangat marah, padahal kesalahanku tidaklah terlalu fatal. Bapak  begitu murka, hingga wajahnya merah padam. Yang kulihat dimatanya pada saat it, seperti kobaran api yang menyala-nyala seakan hendak melahapku yang berada di depannya. Menangis, hanyalah menangis dan rasa takut yang luar biasa yang aku rasakan. "Andai saja ada yang menolong dan membelaku", begitu pikirku. Tapi bukan pertolongan yang datang, Bapak justru menyeret tangan mungilku ke tempat biasa kami mandi (sumur).

Ketakutan benar-benar menjadi, karena sebelumnya entah berapa kali pukulan sudah Bapak berikan untukku. Tapi kali ini, sepertinya Bapak memang belum puas menghukumku. Belahan balok-balok kayu yang telah dibelah dengan menggunakan kampak yang akan digunakan sebagai kayu bakar tampak sangat tajam. Kayu itu berada disekitar sumur, dan dengan serta merta Bapak mengambil kayu tersebut lalu digunakannya untuk memukul tubuh mungilku. Pukulan itu mendarat berkali-kali dipunggungku, perih, sakit, panas, namun takut.

Ketika kayu itu menghantam punggungku, rasa sesak tiba-tiba menyerang dadaku. Sakit, sangat sangat sakit. Namun hanya air matalah yang bisa menyampaikan rasa sakit yang tengah kurasakan itu. Sungguh pukulan itu sangat luar biasa, aku bagaikan benda mati mendapat perlakuan seperti itu. Mungkinkah aku ini bagaikan hewan? Padahal hewan sekalipun tentu ingin mendapatkan sentuhan kasih sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun