Mohon tunggu...
Anselmus Wikan
Anselmus Wikan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Remaja biasa yang berusaha merefleksikan realitas dunia, namun terhalang oleh sistematika.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Lingkungan Hidup sebagai Pondasi Ketahanan Pangan Nasional

24 Februari 2023   08:11 Diperbarui: 24 Februari 2023   08:18 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tahun ini, beberapa negara di dunia diproyeksikan terancam mengalami krisis pangan global. Krisis pangan global disebabkan oleh perubahan iklim dan tata kelola lahan yang semakin tidak seimbang, serta diperparah dengan adanya Perang Rusia-Ukraina yang memutus rantai distribusi pangan dari negara pengekspor bahan pangan. Meskipun indeks ketahanan pangan Indonesia pada tahun 2022 berada pada tingkat yang aman, yaitu 60,2, tidak menutup kemungkinan Indonesia turut terkena dampak krisis pangan global. 

Potensi krisis pangan Indonesia muncul karena daya dukung lingkungan di sejumlah wilayah di Indonesia semakin menurun, yang ditandai dengan perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan perubahan tata guna lahan, yang berpengaruh besar terhadap proses budidaya tanaman pangan di Indonesia, baik secara kuantitas maupun kualitas. 

Hal ini menyebabkan pemerintah harus mengimpor bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tetapi, ketersediaan bahan pangan impor akan semakin terbatas sebagai imbas dari menurunnya produksi pangan dan terhambatnya distribusi akibat konflik Rusia-Ukraina.

Pemerintah RI saat ini telah menganggarkan 95 triliun rupiah untuk mengisi ketersediaan pangan nasional dan menyalurkannya ke masyarakat dengan harga terjangkau. Akan tetapi, menjaga ketersediaan pangan dengan menggantungkan pada impor tidak akan lama bertahan, terlebih ancaman resesi global telah menanti. 

Negara seharusnya memberi perhatian lebih pada pengembangan produksi pangan lokal, sehingga tercipta ketahanan pangan yang berkesinambungan dan berkualitas unggul. Perwujudan dari hal tersebut dapat terbangun melalui kesadaran masyarakat, terutama generasi muda yang memiliki kesadaran dan memahami kondisi lingkungan hidup dan dinamika pertanian dalam negeri.

Mengulas Ketahanan Pangan Indonesia

Indeks ketahanan pangan Indonesia yang mencapai 60,2 pada 2022 banyak didongkrak oleh faktor keterjangkauan harga pangan dengan nilai 81,25. Sementara itu, ketiga faktor lainnya masih di bawah rata-rata, yaitu ketersediaan bahan pangan (50,5), kualitas dan keamanan bahan pangan (56,2), serta adaptasi dan kontinuitas produksi pangan (46,3). 

Ketimpangan indeks antara keempat faktor tersebut menunujukkan bahwa pemerintah masih mengutamakan ketersediaan, distribusi, dan tingkat konsumsi masyarakat terhadap bahan pangan dengan harga terjangkau. Impor menjadi cara instan bagi pemerintah untuk menjaga kestabilan harga dan kuantitas bahan pangan. 

Aspek pemberdayaan masyarakat dan manajemen pertanian, yang sangat fundamental demi ketahanan pangan nasional yang mandiri cenderung dikesampingkan, sehingga kualitas petani dan hasil pertanian dalam negeri masih stagnan. Membanjirnya bahan pangan impor dengan harga terjangkau justru mematikan kesejahteraan petani lokal dan ketahanan pangan nasional ke depannya.

Indeks ketahanan pangan antar wilayah di Indonesia yang mengalami ketimpangan parah menjadi hal yang menarik untuk diulas. Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2021, wilayah Jawa dan Bali dengan komoditas utama padi mencapai tingkat ketahanan pangan yang sangat tinggi (80-90). Sementara itu, wilayah Papua sangat rentan terhadap krisis pangan, dengan indeks ketahanan pangan di bawah 25. 

Data ini menunjukkan ketergantungan daerah luar Jawa terhadap pasokan pangan impor maupun produksi Jawa-Bali, seperti beras, mie instan, tepung terigu, dan sebagainya. Padahal sebenarnya wilayah rawan pangan seperti NTT, Maluku, dan Papua memiliki potensi pangan domestik yang melimpah, seperti jagung, singkong, sagu, dan ubi manis. Potensi pangan tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat karena kualitas petani yang masih tradisional, ketiadaan teknologi dalam pembudidayaan, serta perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. 

Sumber data yang sama menunjukkan pula bahwa rata-rata indeks ketahanan pangan di perkotaan lebih tinggi daripada daerah kabupaten, meskipun lahan pertanian di perkotaan jauh lebih kecil. Sentralisasi hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kota dan industri perkotaan sangat mencolok daripada pemberdayaan potensi pertanian desa untuk ketahanan pangan lokal. 

Stabilitas dan kontiniuitas produksi pangan daerah dalam suatu sistem manajemen sangat diperlukan untuk menciptakan pemerataan ketahanan pangan tingkat daerah hingga rumah tangga, tidak hanya untuk meningkatkan nilai indeks ketahanan pangan secara nasional.

Urgensi Pendidikan Lingkungan Hidup

Stabilitas dan kontinuitas produksi pangan domestik perlu dibangun melalui kualitas sumber daya manusia yang mumpuni dan memiliki concern terhadap ketahanan pangan. 

Generasi muda dijadikan target utama dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia, karena mereka diharapkan mampu mengembangkan sistem ketahanan pangan modern dan berperan dalam kontinuitas ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan hidup ke depannya. Yang menjadi keprihatinan saat ini ialah menurunnya minat generasi muda terhadap pertanian dan ketahanan pangan, serta melemahnya kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan.

Penggalakan Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) menjadi langkah dasar dan fundamental dalam menciptakan generasi muda yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup dan ketahanan pangan nasional. 

Setiap institusi pendidikan berkewajiban untuk melakasanakan PLH, dengan tujuan membentuk kesadaran, komitmen, dan pemanfaatan yang bijaksana terhadap potensi lingkungan. Maka dari itu, modul pembelajaran PLH tidak hanya memuat materi mengenai lingkungan dan dinamikannya, melainkan juga potensi sumber daya daerah masing-masing sebagai muatan lokal. 

Pengenalan potensi daerah menjadi upaya institusi pendidikan untuk memperkenalkan, memberikan pemahaman, dan menumbuhkan minat generasi muda terhadap potensi lingkungan di sekitarnya, sehingga mampu dikelola secara bijaksana demi kelestarian lingkungan dan kesejahteraan bersama.

Sayangnya, PLH yang berjalan selama ini belum efektif untuk membangun habitus masyarakat yang lebih ekologis di tengah godaan konsumerisme dan budaya instan. Generasi muda sudah banyak terpengaruh oleh budaya konsumsi yang tidak teratur, sehingga mencari generasi muda yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan ketahanan pangan. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran PLH dengan metode teori dan introduksi tidaklah cukup. 

Inovasi dan aktualisasi PLH tidak menjadi tugas lembaga pendidikan semata, melainkan harus dimulai dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Semua elemen masyarakat harus melakukan branstorming untuk memberikan pengalaman otentik bagi generasi muda untuk bersentuhan langsung dengan realitas lingkungannya, dengan melibatkan olah pikir, olah rasa, dan olah kehendak. Melalui proses pengolahan atas pengalaman, generasi muda diharapkan memiliki kesadaran dan minat yang genuine terhadap permasalahan lingkungan, gaya hidup, dan ketahanan pangan. Ini menjadi langkah preventif pertama dalam ketahanan pangan berkelanjutan, daripada membiarkan masa depan bangsa yang berpotensi hancur karena krisis pangan.

Ilmu Kehidupan yang Teraktualisasi Nyata

Pendidikan Lingkungan Hidup harus beralih kembali ke hakikatnya, yaitu ilmu kesadaran dan penerapan. Sebagai rangka perkenalan, pemberian pengalaman, dan penumbuhan minat generasi muda terhadap ketahanan pangan, kita harus memberi ruang kepada mereka untuk bereksplorasi, berdinamika, dan memecahkan masalah dalam pelajaran 'bertani dan berwirausaha' yang terintegrasi dengan kurikulum sekolah. Konsep pembelajaran ini dinamakan "Growtopia Farm Model" yang memberikan sebidang lahan kepada siswa untuk budidaya tanaman pangan. 

Sistem kerja dan pengolahan hasil lahan dikelola oleh setiap kelompok secara mandiri. Di wilayah yang memiliki jenis tanaman pokok yang khas, sekolah harus mampu menstimulus siswa untuk membudidayakannya dengan keterampilan yang lebih canggih. Sekolah di kawasan perkotaan juga disarankan memiliki program live-in kerja sebagai petani kepada para siswanya. Program-program ini sebenarnya hanya ingin menyadarkan generasi muda mengenai proses dan usaha dibalik sebuah makanan. Tentunya, tidak menutup kemungkinan apabila terdapat segelintir generasi muda yang tertarik membangun ketahanan pangan, yang tentunya memiliki bekal intelektual dan penguasaan teknologi.

Pondasi awal telah tercipta melalui Pendidikan Lingkungan Hidup yang inovatif dan menghidupkan. Generasi muda memiliki kesadaran dan pengalaman yang genuine dari dinamika budidaya tanaman pangan yang langsung mereka laksanakan. 

Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan pemerintah adalah meningkatkan kualitas pendidikan tinggi petanian, memperbanyak prospek kerja dalam pertanian modern, dan mendorong generasi muda untuk berwirausaha dan menjadi pelopor ketahanan pangan. 

Pendidikan Lingkungan Hidup disarankan pula terintegrasi dalam program studi seluruh pendidikan tinggi, sehingga generasi muda tetap memiliki habitus ekologis serta berkontribusi terhadap kelestarian lingkungan dan ketahanan pangan sesuai dengan bidang yang dikuasai. Kita berharap semoga penggalakan Pendidikan Lingkungan Hidup kepada generasi muda mampu mendongkrak stabilitas dan kontinuitas produksi pangan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat agraria, dan menciptakan ketahanan pangan integral hingga di tingkat rumah tangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun