Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2020, 32 juta warga, atau sekitar 13 persen dari masyarakat Indonesia bekerja sebagai petani.
Petani didefinisikan sebagai masyarakat yang secara nyata berkerja dan membuat keputusan dalam kegiatan bercocoktanam. Melalui peran tersebut, petani menjadi penyangga perekonomian negara dalam memenuhi kebutuhan pangan. Di balik jasa para petani yang besar itu, pemerintahan dianggap belum bisa mengapresiasi hal tersebut.
Pemerintah masih gagal dalam mengembangkan potensi pertanian, hingga negara ini melakukan impor pangan. Pemerintah lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi ke sektor yang lebih modern dan menjanjikan daripada mengangkat kualitas kehidupan petani.
Masyarakat umum pun tidak jauh berbeda pandangannya, menganggap petani sebagai kaum marjinal yang mengerjakan pekerjaan yang tidak diinginkan oleh siapapun.
Saat ini, dunia pertanian Indonesia lebih berfokus pada budidaya tanaman industri, seperti kelapa sawit, teh, tembakau, dan lain sebagainya. Industri pertanian ini menghasilkan keuntunga besar bagi negara, serta membuka lapangan kerja sebagai tenaga kerja kontrak.
Penghasilan yang diperoleh sebagai tenaga kerja kontrak lebih menghasilkan dan pasti daripada hasil dari sektor pertanian kolektif. Pertanian kolektif perlahan ditinggalkan oleh para petani, sehingga terjadi penurunan pada produksi pangan dalam negeri.
BPS juga melansir bahwa produksi beras mengalami penurunan sebanyak 140,73 ribu ton (0,45%) pada 2021. Fakta ini memaksa kita untuk mengimpor bahan pangan, meskipun sebenarnya kita memiliki potensi produksi panagn yang besar. Hal tersebut menjadi ironi, karena industrialisasi pertanian kurang mengembangkan perekonomian negara dan memeratakan kesejahteraaan.
Mastarakat yang masih setia bekerja sebagai petani kolektif semakin memprihatinkan nasibnya. Kapitalisme telah berkembang di dalam masyarakat pertanian pedesaan, didukung dengan struktur sosial berdasarakan kepemilikan lahan. Struktur tersebut terbagi menjadi tiga golongan, yaitu petani-majikan, petani-mandiri, dan buruh tani.
Buruh tani merupakan golongan yang paling banyak jumlahnya, dan yang paling sedikit merasakan kesejahteraan. Usaha perekonomian pribadi petani-majikan dinilai memperbesar kesenjangan ekonomi dan sosial di pedesaan. Jauh dari pandangan umum mengenai masyarakat desa sebagai paguyuban yang egaliter, gotong royong, dan sederhana.
Golongan petani-majikan menjadi penguasa perekonomian masyarakat pertanian, melalui mayoritas kepemilikan lahan dan penguasaan teknologi.
Mereka tidak bekerja langsung sebagai petani, melainkan menyewakan lahan kepada orang lain atau mempekerjakan buruh. Pada masa panen, petani-majikan memperoleh penghasilan besar dari biaya sewa lahan, dan hanya berkurang sedikit untuk mengupah buruh. Selain itu, petani-majikan memperoleh kemudahan berupa subsidi pupuk, benih, dan alat mesin pertanian.
Dengan kekuatan modal yang dimiliki, petani-majikan lebih aktif mengembangkan usahanya ke sektor lain seperti perdagangan lokal, industri kecil dan menengah, hingga pariwisata. Kesan kapitalisme seakan semakin menguat di pedesaan melalui perkembangan gurita bisnis kaum petani-majikan.
Dari sistem kapitalisme pedesaan yang terbentuk, golongan buruh tani yang tidak memiliki ladang semakin jauh dari kata sejahtera. Mereka mau tidak mau harus menyewa lahan atau menawarkan diri mengolah lahan petani-majikan. Saat masa tanam padi selama 3-4 bulan, buruh tani bekerja penuh setiap hari, dan upah yang diperoleh masih jauh dari Upah Minimum Regional yang ditetapkan.
Pekerjaan buruh tani masih mengandalkan teknologi yang terbatas, serta kekhawatiran hasil yang tidak dapat mengembalikan modal hingga gagal panen. Penghasilan sebesar itu masih belum bisa memenuhi kebutuhan dasar dan pendidikan untuk keluarga mereka, sehingga pekerjaan sambilan seperti buruh bangunan, pedagang kecil, hingga tindak kriminal pun dilakukan juga.
Golongan buruh tani dan petani-mandiri yang mengembangkan usaha mikro pada akhirnya kalah saing dengan gurita bisnis petani-majikan. Mereka pun banyak yang bekerja sebagai karyawan di lingkup bisnis tersebut.
Hal ini semakin memperkuat perekonomian kaum petani-majikan dan ketergantungan petani-mandiri dan buruh tani terhadap petani-majikan untuk memenuhi kebutuhan.
Dunia perpolitikan pedesaan dengan mudah dikuasai oleh kaum petani-majikan. Melalui nama besar dan kekuatan finansial, petani-majikan memperoleh jabatan penting dengan mudah, seperti kepala desa, perangkat desa, hingga anggota legislatif. Kekuasan politik ini seringkali diselewengkan untuk kepentingan pribadi, seperti pengaturan subsidi pertanian, penguasaan dana desa, dan moneterisasi badan usaha desa.
Abdul Halim Iskandar, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Terluar menyatakan bahwa kasus korupsi di tingkat desa menjadi masalah kronis. Tercatat pula 271 kasus korupsi di ranah pemerintahan desa yang menjerat 76 kepala desa dan 734 perangkat desa selama 2015-2020. Merebaknya kasus korupsi di kalangan pemerintahan desa mempersulit golongan petani-mandiri dan buruh tani untuk memperoleh layanan.
Melihat genggaman kapitalisme yang semakin memperlebar kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik, perlu adanya perhatian dari pemerintah untuk mengupayakan gerak bersama. Terlebih lagi, perekonomian modern cukup berdampak bagi masyarakat pertanian kecil, seperti utang-piutang dan adaptasi sistem.
Masyarakat bawah juga kalah dalam penguasaan teknologi dan persaingan tenaga kerja modern. Keinginan generasi muda untuk menjadi petani yang berkualitas juga berkurang, yang berpotensi meningkatkan ketergantungan kita terhadap negara lain di sektor pangan, dan kita kehilangan peluang terbesar untuk menjadi negara maju.
Solusi pertama yang dapat ditawarkan adalah reformasi pola pikir dan ekonomi menjadi lebih maju. Masyarakat pertanian diberi stimulus untuk mengkritisi apa saja perubahan dan dampaknya. Literasi ekonomi dan pemberian insentif bagi usaha kecil di sektor pertanian harus semakin digalakkan.
Hal ini akan mengurangi tingkat ketergantungan terhadap petani-majikan, meningkatkan kemandirian ekonomi dengan berhenti berhutang, dan menarik generasi muda mengembangkan sektor pertanian.
Solusi selanjutnya adalah melibatkan masyarakat pertanian kelas bawah aktif dalam perpolitikan mikro desa. Hal ini bisa terlaksana bila kalangan tersebut sudah mencapai kemandirian ekonomi.
Mereka bisa mengisi jabatan-jabatan penting di desa, atau mengusung calon kepala desa yang bisa dipercaya dan amanah. Setelah politik pedesaan dikuasai masyarakat kelas bawah, diperlukan adanya sinergi antara pemimpin dan warga dalam menciptakan iklim sosial dan perekonomian pedesaan yang berasaskan persaudaraan, untuk mencapai keadilan sosial.
Sumber Pustaka:
- Airlangga, Sinergy Aditya, Limpahan Bantuan Perdesaan dalam Dekapan “Petani Majikan”, Basis no 01-02 tahun 2022.
- Landsberger, Henry A. dan Alexandrov, Yu.G., Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, Terj. Aswab Mahasin, Rajawali: Jakarta, 1981.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H