Di sebuah padang belantara yang luas, tinggallah seekor gajah kecil bersama keluarganya. Keluarga gajah hidup dengan tenang dan damai. Tidak ada hewan pemangsa yang berani mengganggu keluarga gajah karena pemimpinnya adalah ibu gajah yang sangat besar dengan gading yang panjang dan kuat. Setiap hari, keluarga gajah berjalan mengelilingi padang belantara mencari rumput yang segar untuk dimakan.
Tetapi sungguh malang, musim kering yang begitu panjang membuat pepohonan dan rerumputan mengering. Tidak ada lagi rumput segar untuk dimakan. Hewan-hewan mulai resah karena sungaipun mulai mengering. Yang tersisa hanyalah kubangan lumpur kotor yang dipenuhi buaya yang sepanjang hari bertengkar memperebutkan tempat itu. Para lembu liar bersama seluruh kawanannya yang pertama pergi meninggalkan padang belantara. Dan meski terasa berat meninggalkan rumah mereka, hewan-hewan lainpun satu persatu mulai pergi mencari tempat di mana masih ada rumput dan air.
Tak terkecuali keluarga gajah, mereka berjalan meninggalkan padang rumput tempat tinggal mereka dengan wajah sedih.
"Ibu, kemana kita akan pergi, apakah tempat yang kita tuju masih jauh?" Tanya si gajah kecil yang kelelahan.
"Sabarlah nak, kita akan pergi ke padang rumput hijau, di sana tidak ada rumput yang kering bahkan airnya melimpah-limpah. Tapi tempatnya sangat jauh karena itu kuatkan hatimu." Jawab ibu gajah penuh kesabaran.
"Iya ibu." Jawab si gajah kecil sambil terus berjalan meski merasa lelah dan haus.
"Tapi dari mana ibu tahu tentang padang rumput hijau? Kurasa tak ada tempat yang seperti itu apalagi di musim kering seperti ini." Tanya si gajah muda, kakak si gajah kecil.
"Para burung jalak yang mengatakannya kepada ibu."
"Apa! Mengapa ibu percaya pada burung-burung bodoh itu?"
"Hei kau tak boleh menghina hewan lain. Lagi pula burung-burung jalak itu sangat baik dan pintar dan mereka jauh lebih pintar dan bijak dibandingkan gajah muda yang tak berpengalaman sepertimu!" Seru ibu gajah menasehati anaknya.
"Sudahlah bu, aku tidak butuh nasehat saat ini. Lihatlah kakiku sakit dan aku juga sangat haus bisakah kita istirahat sebentar?" Keluh si gajah muda yang memang suka mengeluh, malas dan tidak sabaran.
"Anakku, hentikan keluhan-keluhan bodohmu. Tubuhmu besar dan kuat, kau pasti sanggup bertahan. Jangan malas!"
Keluarga gajah terus berjalan, begitu pula si gajah muda meski sepanjang perjalanan dia mengomel terus. Saat ini mereka sedang melintasi pegunungan batu cadas yang gersang dan tandus. Si gajah muda berjalan di barisan paling belakang. Sementara itu adiknya si gajah kecil mendekatinya.
"Kakak, apa kau lelah? Ayo kita menyanyi bersama supaya hati kita gembira." Ajak si gajah kecil.
"Jangan ganggu aku! Dan jangan bernyanyi di dekatku dengan suaramu yang jelek itu! Bentak si gajah muda sambil mendorong adiknya supaya menjauh.
Tiba-tiba dari balik bebatuan terdengar suara parau dan menakutkan.
"Hei anak-anak gajah, mau kemana kalian pergi?" Saat si gajah muda menoleh ternyata itu adalah seekor burung bangkai.
"Apa urusanmu burung bangkai bodoh?"
"Ah tidak, aku hanya heran mengapa ada kawanan gajah di tempat sejauh ini?"
"Kami sedang menuju padang rumput hijau karena padang tempat kami tinggal mengalami kekeringan." Jawab si gajah kecil.
"Ha..ha..ha..ha..ha..!" Si burung bangkai tertawa terbahak-bahak.
"Kalian percaya dengan cerita itu? Itu bohong!"
"Ibu kami tidak akan pernah berbohong! Pergilah burung jahat! Ayo kak jangan dengarkan burung yang jahat dan licik ini!" Seru si gajah kecil. Si burung bangkai hanya tersenyum lalu dia terbang mendekati si gajah muda.
"Hei gajah yang perkasa, kau sepertinya lebih pintar daripada adikmu itu. Karena itu aku akan memberitahumu tempat rahasia di gunung ini. Tempat itu sangat subur dan indah, penuh dengan rumput segar kesukaan kalian." Bisik si burung bangkai.
"Benarkah? Kau tidak membohongiku kan?"
"Mana berani aku berbohong pada binatang terkuat di dunia."
"Kakak apa yang kau bicarakan dengan burung bangkai itu? Ayo kita pergi!"
"Aku tidak mau pergi denganmu, katakan pada ibu aku memilih jalanku sendiri karena aku sudah dewasa!"
"Tapi kak..."
"Cepat pergi sana!"
Si gajah kecil merasa sedih tapi dia harus segera pergi karena kawanan gajah semakin jauh. Si gajah muda tersenyum gembira melihat adiknya pergi. Kemudian dia mengikuti si burung bangkai. Ternyata benar, si burung bangkai mengajaknya ke balik gunung batu yang tersembunyi.
Ternyata di balik gunung batu yang kering terhampar padang rumput yang hijau dan subur. Pohon-pohon yang rimbun dan bunga-bunga yang cantik tumbuh dengan subur. Si gajah muda sangat gembira, dengan lahap dimakannya rerumputan yang hijau dan manis.
"Lezat sekali!" Seru si gajah muda yang kekenyangan. Dia tidak menyadari bahwa si burung bangkai mengawasi dari kejauhan.
"Aneh sekali, kenapa padang rumput yang indah ini sangat sepi, bahkan burung-burung pun tak ada? Sungguh aneh."
Tiba-tiba dari dalam muncul sekawanan lebah yang sangat banyak, jutaan jumlahnya. Lebah-lebah itu sangat aneh karena berwarna merah seperti darah. Lebah-lebah itu mengerumuni si gajah muda dan menyengatnya. Si gajah muda berteriak kesakitan namun dia tak bisa melawan karena lebah itu begitu banyak. Para lebah itu menyengat tanpa ampun maka tumbanglah si gajah muda. Tubuhnya dipenuhi sengat beracun yang mematikan, matanya berkunang-kunang. Dia teringat adik dan ibunya namun semuanya telah terlambat. Dari jauh si burung bangkai tersenyum, sebentar lagi dia akan makan sampai kenyang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H