Mohon tunggu...
Erfen Gustiawan Suwangto
Erfen Gustiawan Suwangto Mohon Tunggu... -

Tenaga medis, staf pengajar hukum kedokteran, aktivis medis

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Solusi Sengketa Dokter-Pasien (Versi ringkas ditulis di Media Indonesia 2 Mei 2015 Hal. 7)

22 April 2015   19:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:47 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

http://news.detik.com/read/2015/04/20/171554/2892693/10/mk-putuskan-dokter-bisa-dipenjara-tanpa-rekomendasi-mkdki
Demikianlah berita putusan yang keluar dari Gedung Mahkamah Konstitusi, tempat di mana masyarakat profesi kedokteran mengajukan uji materi Pasal 66 ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.  Ternyata MK  tidak menganggap Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga membatalkan semua permohonan para dokter tersebut.
Untuk mengkaji putusan ini, mari kita lihat detail Pasal 66 UU Praktik Kedokteran tersebut:
Ayat (1) "Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan
dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia."
Ayat (2) "Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu
tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan."
Ayat (3) "Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak
pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata
ke pengadilan."
Tentu ada pendapat yang mengatakan MK menolak karena mempertimbangkan
Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Semua warga negara bersamaan dengan kedudukannya di depan hukum...."
Akan tetapi, jika demikian untuk apa ada institusi bernama Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tersebut jika hanya menambah beban bagi para dokter? Padahal lembaga ini juga sudah cukup objektif dengan menghukum 50 persen dokter yang bermasalah, apalagi lembaga ini beranggotakan masyarakat nonmedis.  Karena berarti dokter dapat digugat ke ranah pidana, perdata, disiplin, dan etik sekaligus. Padahal UU Praktik Kedokteran sengaja dibuat khusus untuk menjamin dokter merasa aman dalam bekerja sehingga pasien terlindungi. Sekalian saja UU Praktik Kedokteran dicabut jika tetap ingin menerapkan hukum umum dalam tindak kelalaian medis!
Betapa seringnya negara ini masih lebih sering mencari jalan mudah dengan memenjarakan masyarakatnya daripada memperbaiki hulunya. Dalam hal dunia medis, seringkali hulunya justru ada di pemerintah itu sendiri yang belum mampu menyediakan fakultas kedokteran, rumah sakit, obat, alat kesehatan, dll dengan jumlah dan kualitas merata, terutama di era BPJS. Dengan demikian, pasien hanya melihat kesalahan di tangan dokter padahal dokter "terpaksa" menangani pasien ratusan orang dengan kualitas "seadanya". Ini namanya adu domba antara dokter dan pasien. Di sisi lain, pengobat alternatif  yang mencelakakan pasien tanpa surat izin praktik dibiarkan beriklan di media massa dan jika sudah sakit parah, dokter yang menerima pasien "sampah" dari pengobat alternatif tersebut dan dituduh malpraktik.
Pidana kelalaian dalam medis harusnya adalah delik aduan. Oleh karena pasien bisa mencabut laporannya di kepolisian dalam waktu kurang lebih 3 bulan. Jika kurun ini telah terlewati, maka mau tidak mau  kasus terus berlanjut sampai pengadilan. Analogi ini seperti kasus kecelakaan lalu lintas yang seringkali berujung damai. Berbeda jika itu tindak pidana kriminal seperti aborsi dll yang tanpa aduan pun, aparat penegak hukum harus bertindak dan penanganan kasus tidak dapat dihentikan. Inilah yang dinamakan "restorative justice" karena dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga jelas tertulis bahwa sengketa medis lebih didahulukan untuk diselesaikan dengan mediasi di pengadilan perdata. Sayang pasal ini tidak jelas sehingga tidak diperhatikan.  Lantas untuk apa membuat pasal jika tidak diterapkan?
Dengan melihat rangkuman di atas, jelas para dokter akan lebih banyak melakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis, bahkan menaikkan tarif pengobatan untuk membayar asuransi profesi. Lebih jauh lagi, dokter akan lebih sering merujuk pasien-pasien yang kritis karena takut dipenjara. Akhirnya yang dirugikan toh pasien itu sendiri!
Oleh karena itu, semua ketidakpastian hukum ini harus segera diselesaikan dengan merombak semua UU yang terkait kesehatan. Ikatan Dokter Indonesia sebagai satu-satunya organisasi profesi harus lebih proaktif demi kesehatan segenap rakyat Indonesia. Pemerintah sebagai lembaga eksekutif, DPR sebagai lembaga legislatif, dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif harus duduk dengan semua "stakeholder" dan hasilnya harus disosialisasikan untuk menyelesaikan kekisruhan ini sebelum dokter dan rakyat Indonesia menggebrak nusantara dengan gerakan yang lebih besar.
Bagaimana mungkin seorang hakim dapat memutuskan perkara profesi yang spesifik? Sedangkan antar dokter yang sudah berbeda spesialisasi dan situasi kerjanya saja tidak bisa menjadi saksi ahli bagi kasus kelalaian sejawatnya. Mari arahkan pidana kelalaian medis ke arah perdata dengan mengutamakan mediasi. Jika ingin dibawa ke ranah pidana, diharapkan ada pengadilan khusus profesi yang "memfilter" apakah kelalaian tersebut sangat fatal dan dapat dibuktikan sehingga layak dipidana. Karena hukum pidana perlu bukti, bukan persangkaan imajinasi.  Dukungan media massa juga diperlukan untuk membawa suasana kondusif demi bangsa yang lebih baik. Kelalaian seorang dokter bukanlah bahan berita yang layak dijadikan sumber sensasi. Karena dokter pada umumnya ingin agar pasien sembuh sehingga dikenal sebagai dokter yang baik. Sekali lagi bedakan antara kasus kelalaian dengan kasus kriminal umum seperti aborsi, pembunuhan, dll.
Oleh:
dr. Erfen Gustiawan Suwangto, M.H.Kes.
-Departemen Bioetika dan Hukum Kesehatan Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya
-Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia
-Pengurus IDI Wilayah Jakarta
-Tim BP2KB Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia
-Pengurus Kolegium Dokter Indonesia
-Pengurus Pusat Perhimpunan Profesi Kesehatan Nasional Demokrat
-Anggota World Association for Medical Law
-Anggota World Organization of Family Doctors

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun