Mohon tunggu...
Erfen Gustiawan Suwangto
Erfen Gustiawan Suwangto Mohon Tunggu... -

Tenaga medis, staf pengajar hukum kedokteran, aktivis medis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Yesus Seorang Yogi?

22 Juni 2010   10:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:22 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pembahasan yang semakin marak akhir-akhir ini. Sesungguhnya wajar timbul motivasi untuk menghubungkan Yesus dengan kepercayaan apapun karena Yesus adalah tokoh yang sangat populer, tetapi tentu akan menjadi salah jika ini tidak disikapi secara objektif. Seperti penganut kepercayaan Gnostik yang telah kalah di Mahkamah Internasional karena telah membuat injil palsu demi mencampur ajaran Yesus dengan kepercayaan mistik lokal mereka. Mereka membuat injil yang mencatut nama-nama rasul Yesus seperti injil Tomas, injil Maria Magdalena, dsb. Sedangkan keempat injil telah terbukti ditulis oleh rasul Yesus sendiri. Bukankah kerukunan antarumat beragama / keyakinan tidak perlu dengan cara mencampuradukkan doktrin khusus dari tiap agama?. Oleh karena kita dapat dipersatukan oleh ajaran umum tiap agama dan kepercayaan, yaitu KASIH. Menyatukan doktrin khusus justru membentuk “Unity in Uniformity” tatkala kita berusaha untuk membentuk “Unity in Diversity”.

Dari umat Islam, Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya tanggal 29 Juli 2005 juga telah menyatakan bahwa paham Pluralisme Radikal bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Radikal sebagai suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme radikal juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar Pluralisme Agama, yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI tersebut dan menyimpulkan bahwa Pluralisme Radikal memang sebuah agama baru yang sangat destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain.

Tahun 2000, Paus Yohanes Paulus II sudah menolak paham Pluralisme Radikal dengan mengeluarkan Dekrit ‘Dominus Jesus’. Dari kalangan Protestan di Indonesia juga muncul penolakan keras terhadap paham ini, dengan keluarnya buku Dr. Stevri Indra Lumintang berjudul ‘’Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini”, (Malang: Gandum Mas, 2004). Frans Magnis Suseno tokoh Katolik terkenal di Indonesia dan Direktur Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara) mendukung “Dominus Jesus” itu, dan menyatakan, bahwa “Dominus Jesus” itu sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya pula, ‘Pluralisme Radikal’ hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dari pada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang mereka yakini.Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: “Menurut saya ini tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut agar kita semua menjadi sama, mari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi, melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama.¨Karena itu, sebagai seorang rohaniwan Katolik, wajar jika Frans Magnis Suseno menolak keras-keras paham tersebut.

Penganut agama Hindu ternyata juga menolak paham ‘Pluralisme Radikal’. Paham ini, katanya, sebagai ‘Universalisme Radikal’. Telah terbit buku yang berjudul ”Semua Agama Tidak Sama”, terbitan Media Hindu tahun 2006. Buku yang berisi kumpulan tulisan sejumlah tokoh dan cendekiawan Hindu ini secara tajam mengupas dan mengritisi paham Pluralisme Radikal yang biasanya dengan sederhana diungkapkan dengan ungkapan ‘’semua agama adalah sama’’. Buku ini diberi pengantar oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), yang merupakan induk umat Hindu di Indonesia. Catatan ini dibuat karena ingin berbagi masukan, bukan untuk pembelaan karena pengikut Kristus tentu tidak akan pernah goyah oleh ajaran apapun karena kebenaran tidaklah perlu dibela.

Kembali lagi ke pertanyaan, “Apakah ajaran Yesus berhubungan dengan mistisisme Timur?” Bagi orang Kristen yang telah mendalami ajaran-Nya (apalagi orang Kristen yang juga mantan penganut mistisisme Timur), maka jelas jawabannya TIDAK. Mengapa? Karena Yesus jelas mengajarkan doa secara langsung kepada Tuhan dengan bercakap-cakap kepada Tuhan dan bukan dengan meditasi / yoga, salah satunya adalah Doa Bapa Kami yang terkenal itu. Belum lagi dari Firman-Nya yang jelas mengajarkan wahyu Tuhan dalam Taurat. Mungkin banyak yang mengira Yesus adalah pemberontak terhadap Taurat padahal Ia sendiri mengaku tidak meniadakan hukum Taurat. Ia hanya membaharui penerapan hukum Taurat yang tidak dilakukan ahli Taurat karena ahli Taurat di zaman itu lebih sibuk dengan penafsiran kaku terhadap ayat Taurat. Ia bahkan melawan iblis dengan ayat-ayat Taurat tatkala dicobai iblis di padang gurun. Jadi, anggapan kekristenan terpaku pada ayat-ayat yang ‘mati’ sangatlah keliru. Oleh karena kekristenan mementingkan inti dari ayat itu. Oleh karena itu, Alkitab diterjemahkan ke dalam banyak bahasa agar semua orang dapat membaca sehingga lebih mudah untuk mendapatkan intinya. Apabila kekristenan kaku pada ayat, tidaklah mungkin Alkitab diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Beli alat elektronik saja perlu buku petunjuk pemakaiannya, termasuk ajaran spiritualitas. Akan tetapi, tentu penerjemahan dan penafsiran juga tidak bisa sembarangan karena harus berpatokan pada bahasa aslinya sehingga sesuai konteks. Janganlah kiranya ‘kebebasan penerjemahan Alkitab’ ini tidak disikapi secara bertanggungjawab. Yang paling penting tidak kehilangan inti dari ajaran itu, dan yang lebih penting lagi adalah mempraktikkan ajaran itu dalam tindakan nyata.

Anggapan bahwa kekristenan adalah agama langit yang kaku adalah juga SALAH. Oleh karena Yesus tidak mengajarkan agama, apalagi agama langit!. Namun, kelembagaan dalam kekristenan diperlukan karena keterpaksaan. Karena Yesus mengajarkan taat pada pemerintah sedangkan pemerintah sering mewajibkan agama untuk dilembagakan, lengkap dengan atribut tempat suci, kitab suci, dll. Ini menunjukkan kekristenan tidak mengancam keutuhan suatu negara. Di sisi lain, tentu manajemen kelembagaan diperlukan untuk mengatur manusia, karena Yesus sendiri menunjuk Petrus sebagai pemimpin para rasul, bahkan menunjuk Yudas (yang akhirnya mengkhianati-Nya) sebagai bendahara.

Apakah Yesus ke India dan Tibet? Mungkin saja tetapi buktinya belum jelas. Karena dalam tayangan Discovery Channel, penduduk asli di sana saja meragukan. Bukannya tidak mungkin isu ini dihembuskan oleh orang dari luar India dan Tibet untuk maksud tertentu. Lihat saja Dan Brown yang membuat novel fiktif saja masih banyak percaya akan novel itu, terutama mereka yang selama ini pada dasarnya tidak senang dengan kekristenan. Betapa gereja sering ingin dijatuhkan. Namun, tentu karena itu semua hanya rekaan subjektif untuk memuaskan ego, maka jarang ada pengikut Kristus yang murtad setelah diserang oleh berbagai pihak secara doktrin, bahkan secara fisik. Anggaplah Yesus pernah ke Timur, ada kabar bahwa Ia ditolak karena mengajarkan Weda kepada kaum selain Brahmana padahal hanya kaum Brahmana yang berhak berdasarkan kasta. Lagipula saat usia 12 tahun, Ia telah mengajar para ahli Taurat yang usianya tentu jauh lebih tua! Kemungkinan besar yang diajarkan Yesus adalah injil, bukan Weda karena injil memang mengabarkan pembebasan. Oleh karena itu, negara yang mayoritas penduduknya Kristen menjadi pelopor demokrasi, penegakan HAM, dan emansipasi wanita tanpa harus menjadi negara agama. Oleh karena Yesus sendiri menganjurkan pemisahan agama dengan negara. Sayangnya demokrasi yang diterapkan itu berubah menjadi liberalisme yang melenceng jauh dari demokrasi dalam injil. Tetapi, terlepas dari manusianya, jelas yang diajarkan injil adalah demokrasi dan penegakan HAM yang murni tanpa berlatar belakang politik yang kerap dilakukan negara Barat.

DIMANAKAH YESUS KETIKA BERUSIA 12-30 TAHUN?

Dari deskripsi tersebut di atas, jelas bahwa semua teori yang mencari-cari “the silent period” Yesus itu, akan tinggal sebagai spekulasi cerdik belaka. Bahkan teori-teori seperti itu sebenarnya tidak akan mucul apabila kita memahami dengan baik kebudayaan dan agama Yahudi, yang menjadi latarbelakang kehidupan Yesus, “yang lahir
dari seorang perempuan yang takluk kepada hukum Taurat” (Galatia 4:4).

Mengapa Yesus hanya ditampilkan hanya kelahiran-Nya, usia 12 tahun dan baru ditulis lagi setelah berusia 30 tahun? Dari perspektif Yahudi, hal itu bukan hal yang aneh, sebab menurut budaya Yahudi seorang laki-laki baru boleh mengajar di depan umum pada usia 30 tahun.

Menurut hukum Yahudi, usia seorang anak digolongkan dalam 8 tahapan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun