Salah satu tren yang terjadi di kalangan masyarakat saat ini adalah peningkatan jumlah penduduk usia tua secara cepat, baik di negara maju maupun di negara berkembang, disebabkan karena adanya penurunan tingkat kelahiran dan kematian, serta peningkatan angka harapan hidup yang secara keseluruhan mengubah struktur penduduk. Proses ini terjadi karena beberapa  faktor-faktor seperti peningkatan gizi, perbaikan kebersihan, pelayanan kesehatan yang lebih baik, dan peningkatan tingkat pendidikan serta kesejahteraan sosial-ekonomi. Oleh karena itu, jumlah lansia di Indonesia juga meningkat karena hal ini. (Ekasari, M. F., Riasmini, N. M., & Hartini, n.d.)
Pada dasarnya, manusia melalui berbagai fase pertumbuhan hingga mencapai tahap akhir, yaitu lansia atau lanjut usia. Lansia merujuk pada orang-orang yang sudah mencapai fase akhir dalam kehidupan mereka, dimana semua orang pasti akan mengalami penuaan. Penuaan adalah proses alami dalam kehidupan manusia yang membawa perubahan dalam banyak hal, termasuk kesehatan mental. Dalam masyarakat yang semakin tua, menjaga kualitas hidup lansia menjadi sangat penting. Menurut World Health Organization (WHO), lansia adalah orang yang berusia 60 tahun ke atas. Mereka termasuk dalam kelompok usia yang telah mencapai tahap akhir perjalanan hidup mereka. Proses ini dikenal sebagai penuaan, seperti yang dijelaskan oleh Soares pada tahun 2013.
Berdasarkan data dari WHO, di wilayah Asia Tenggara, sekitar 8% dari total populasi merupakan lansia, yang setara dengan sekitar 142 juta orang. Proyeksi untuk tahun 2050 menunjukkan bahwa jumlah lansia diperkirakan akan meningkat tiga kali lipat dari jumlah saat ini. Pada tahun 2000, jumlah lansia mencapai sekitar 5,300,000 orang (7,4%) dari total populasi. Angka ini meningkat menjadi 24,000,000 orang (9,77%) pada tahun 2010 dan mencapai 28,800,000 orang (11,34%) pada tahun 2020. Di Indonesia, pada tahun 2020, diperkirakan terdapat sekitar 80,000,000 orang lansia.
Menurut proyeksi WHO untuk tahun 2030, setidaknya 1 dari 6 penduduk dunia akan berusia lanjut. Jumlah orang yang berusia 60 tahun ke atas di seluruh dunia diperkirakan akan meningkat 1,4 miliar pada tahun 2020 menjadi 2,1 miliar pada tahun 2050. Sejak tahun 2021, Indonesia telah memasuki era penduduk yang menua, di mana sekitar 1 dari 10 penduduknya adalah lansia. Meskipun demikian, fenomena ini dapat dianggap sebagai bonus demografi kedua, di mana jumlah lansia meningkat namun mereka masih produktif dan dapat memberikan kontribusi positif bagi perekonomian negara (Heryanah, 2015). Namun, populasi lansia juga dapat menjadi tantangan pembangunan jika mereka tidak produktif dan menjadi kelompok rentan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, (2022), sekitar 10,48 persen dari total penduduk Indonesia merupakan lansia. Rasio ketergantungan lansia, yang mengukur berapa banyak orang produktif yang mendukung satu orang lansia, mencapai angka 16,09. Artinya, ada sekitar 6 orang usia produktif (15-59 tahun) yang mendukung setiap orang lansia. Dalam jumlah tersebut, lansia perempuan lebih banyak daripada laki-laki, dengan perbandingan 51,81 persen perempuan dan 48,19 persen laki-laki. Lansia yang tinggal di perkotaan juga lebih banyak dibandingkan yang tinggal di pedesaan, dengan perbandingan 56,05 persen di perkotaan dan 43,95 persen di pedesaan. Berdasarkan kelompok usia, sekitar 65,56 persen dari lansia termasuk dalam kategori lansia muda (umur 60-69 tahun), 26,76 persen dalam kategori lansia madya (umur 70-79 tahun), dan 7,69 persen merupakan lansia tua (umur 80 tahun ke atas). Dilihat dari lokasi geografis, provinsi Yogyakarta memiliki proporsi lansia tertinggi, yaitu sekitar 16,69 persen, sementara proporsi lansia terendah terdapat di provinsi Papua, yaitu sekitar 5,02 persen. Oleh karena itu Dalam menghadapi proses ini, menjaga kesehatan dan kualitas hidup lansia menjadi prioritas utama.
Kualitas hidup lansia tidak hanya tentang seberapa lama mereka hidup, tapi juga sejauh mana kehidupan mereka memberi kepuasan, makna, dan kebahagiaan. Mencakup berbagai hal seperti kesehatan tubuh dan pikiran, kemampuan untuk melakukan hal-hal sendiri, interaksi dengan orang lain, keadaan di sekitar mereka, dan perasaan aman. (Rumawas, 2021) Lansia yang merasakan kualitas hidup yang baik dapat menjalani hidup yang berarti meskipun mereka menghadapi berbagai tantangan karena penuaan. Penting bagi mereka merasa dihargai, berguna, dan tetap terlibat dalam kehidupan sosial dan budaya mereka. Hal seperti menjaga kesehatan tubuh dan pikiran, mendapatkan dukungan dari teman dan keluarga, melakukan aktivitas fisik dan pikiran secara teratur, dan memiliki kesempatan untuk memberi kontribusi pada masyarakat adalah factor  penting yang meningkatkan kualitas hidup lansia. (Putri et al., 2019) Namun seiring dengan bertambahnya usia lansia dapat memiliki masalah yang kompleks terkait dengan proses penuaan.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi oleh lansia dalam proses penuaan adalah penurunan kognitif. Penurunan ini mencakup kesulitan mengingat, kesulitan belajar, dan kesulitan berpikir dengan jelas. Penurunan kognitif ini bisa berkembang menjadi penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer atau demensia, yang memiliki dampak signifikan pada kehidupan sehari-hari lansia. (Akbar et al., 2020)
Saat ini, lebih dari 55 juta orang di dunia menderita demensia, dengan lebih dari 60% di antaranya tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Setiap tahun, hampir 10 juta kasus baru muncul. Demensia disebabkan oleh berbagai penyakit dan cedera pada otak, di mana penyakit Alzheimer adalah bentuk demensia yang paling umum dan menyumbang 60-70% kasus. Demensia saat ini menempati peringkat ketujuh sebagai penyebab kematian dan juga salah satu penyebab utama kecacatan dan ketergantungan pada lansia secara global. (WHO, 2023)
Di Indonesia, terdapat prevalensi tinggi penyakit demensia Alzheimer, terutama di pulau Jawa dan Bali, dengan angka sekitar 27.9%. Lebih dari 4.2 juta penduduk Indonesia menderita demensia. Secara global, sekitar 50 juta orang menderita demensia di seluruh dunia, dengan prevalensi sekitar 4-9% pada individu berusia 60 tahun ke atas. Diperkirakan jumlah ini akan meningkat menjadi 152.8 juta pada tahun 2050, terutama karena peningkatan usia harapan hidup di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. (Kemenkes, 2023). Oleh karena itu pada lansia, seringkali mereka mengalami kesulitan mengingat informasi baru, lupa nama orang atau objek, dan kesulitan menemukan kata yang tepat saat berbicara. Biasanya, kemampuan mengingat hal-hal sebentar lebih sering terpengaruh dibandingkan dengan kenangan jangka panjang. (Pragholapati et al., 2021). Oleh karena itu perlunya menjaga fungsi kognitif agar tetap optimal.
Penting bagi lansia untuk menjaga kemampuan otak mereka agar bisa hidup mandiri dan merasakan kualitas hidup yang baik setiap hari. Caranya antara lain dengan berlatih otak, berolahraga secara teratur, tidur cukup, makan makanan sehat, dan mengelola stres. Selain itu, berinteraksi sosial, terus belajar hal baru, serta terlibat dalam kegiatan yang merangsang otak juga bisa membantu menjaga dan meningkatkan kemampuan otak pada usia lanjut. (Pranata et al., 2020). Akan tetapi salah satu upaya untuk mengataasi penurunan fungsi otak pada lanisa dengan merangsang kemampuan berpikir dengan latihan senam otak.
Senam otak pada lansia adalah rangkaian aktivitas khusus yang bertujuan merangsang dan melatih fungsi otak. Latihan ini dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan daya ingat, konsentrasi, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan berpikir orang lanjut usia. (Al-Finatunni'mah & Nurhidayati, 2020). Contoh latihan senam otak melibatkan teka-teki, permainan memori, Sudoku, menghafal puisi atau lagu, bermain catur atau teka-teki silang, serta aktivitas seni seperti melukis atau merajut. Latihan-latihan ini diformulasikan untuk mengasah kemampuan otak, merangsang neuron, dan meningkatkan konektivitas antar sel-sel otak (Zulaini, 2016)
Berdasarkan jurnal penelitian menurut (Hukmiyah, 2019) dengan judul "Pemberian Brain Gym Exercise Dapat Meningkatkan Fungsi Kognitif Pada Lanjut Usia" yang diberikan pada lansia 20 orang perempuan yang dilakukan satu kali per minggu dengan durasi minimal 15 menit selama 6 minggu, hal ini terbukti efektif dengan adanya pengaruh pemberian brain gym exercise terhadap perubahan fungsi kognitif pada lansia. Berdasarkan penelitian menurut (Lestari et al., 2020) dengan judul "Pengaruh Brain Gym Terhadap Fungsi Kognitif Pada Lansia Di Panti Werdha Majapahit Kabupaten Mojokerto" yang diberikan pada 22 orang dengan dilakukan latihan 3 kali dalam seminggu, selama 3 hari, dengan durasi tiap latihan 15 menit, dan lansia tidak boleh melakukan brain gym diluar pertemuan. Hal ini terbukti efektif bahwa brain gym mempengaruhi fungsi kognitif lansia, karena dengan brain gym maka aliran darah yang menuju ke otak akan semakin lancar dan memenuhi kebutuhan sel otak untuk dapat berfungsi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA