Mohon tunggu...
Uwa Ucup
Uwa Ucup Mohon Tunggu... -

Penulis lepas, tinggal di Bogor

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pendekar Tongkat Emas: Si Perindu Menemukan Sabana

25 Desember 2014   15:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:29 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1419470794257478814

Popcorn baru diraup tiga kepal tangan ketika Cempaka (Christine Hakim) memulai narasinya. Suaranya serak dan membuat rahang yang penuh dengan jagung kering ini, kaku. Bulu kuduk menegang sambil terus memperhatikan gerak ritmis Cempaka memperlihatkan keahlian mengayun tongkat.

Kata Suyatna Anirun, tokoh teater Indonesia, 50 persen film (baca teater) terletak pada adegan pertama. Dan saya meleleh oleh adegan pertama film produksi Miles film dan Kompas Gramedia Studio Itu. Mata saya lupa berkedip dan secangkir popcorn cemburu dengan ketakjuban saya. Dia teronggok bagai fosil.

Adegan berlanjut pada tiga orang pendekar yang sedang berlatih. Biru (Reza Rahadian) dan Gerhana (Tara Basro) sedang asyik berlatih beladiri. Di sisi lain, Dara (Eva Celia) juga tengah susah payah memutar tongkat. Tak terkecuali bintang cilik Angin (Aria Kusumah) yang cekatan meloncat ligat.

Tatapan Biru dan Gerhana sudah menegaskan ada dendam kesumat yang terpendam. Adegan ular hijau masuk ke gubuk menjadi penting di balik kematian Cempaka. Kedatangan Elang (Nicholas Saputra) yang sangat misterius itu membuat film ini kental dengan rasa silat khas Indonesia.

Mulut semakin menganga melihat pemandangan sabana yang begitu luas. Kuning emas. Langit biru bersih dengan kepulan awan selembut kapas. Nun di kejauhan terintip biru laut dengan ombak-ombak kecil. "Ini di mana yah?" Kata saya berbisik ke istri. "Kayaknya di daerah timur. Mungkin NTT," jawab istri saya. Matanya tetap menatap layar bioskop.

Adegan Cempaka yang meregang nyawa di antara batu-batu merupakan salah satu adegan terbaik film ini. Sutradara kemudian membawa kameranya menjauh memperlihatkan lanskap yang gamblang. Kain tenun ikat khas Sumba membuat film ini menambah tegas kontur Indonesia: Warna cerah dengan elemen-elemen megalitik. Tempat-tempat perguruan silat juga memperlihatkan ornamen-ornamen khas itu.

Kerinduan terhadap film layar lebar yang bercerita tentang silat terjawab sudah. Apalagi dengan sentuhan-sentuhan budaya tradisionalnya. Rasanya seperti digiring lagi ke zaman ketika serial silat sedang digandrungi pada generasi 70-an hingga 80-an.

Walaupun saya lahir di era 80-an, setidaknya saya pernah menikmati bagaimana Si Buta dari Goa Hantu terus menggendong Wanara, lutung kesayangannya. Film yang diangkat dari komik karya Ganes TH itu pula yang menyeret saya untuk blusukan mencari kepingannya di pasar loak. Maklum, film itu sudah beredar pada 1970.

Di era 90-an, saat film Indonesia sedang mati suri, sejumlah televisi memutar film-film silat dengan kualitas gambar seadanya. Kehadiaran film The Raid sempat membuat saya sumringah. Walaupun, tentu saja hasrat saya tak terpuaskan sebagai penggemar silat-silat klasik. "Andai saja ada lagi produser yang berani rugi membuat film silat," harap saya saat itu.

Bisa ditebak betapa girang saya begitu mendengar Mira Lesmana dan Riri Riza akan mengangkat kembali serial silat klasik. Apalagi penulis skenarionya juga sudah menjadi jaminan mutu: Jujur Prananto dan Seno Gumira Ajidarma.

Mira dan Riri adalah jaminan saya atas kualitas film tersebut. Keduanya sukses menyeret saya kembali ke bioskop lewat Petualangan Sherina-nya. Mereka pula yang membuat saya balik lagi ke bioskop untuk menonton Ada Apa Dengan Cinta? (AADC).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun