Mohon tunggu...
wan di
wan di Mohon Tunggu... karyawan swasta -

bahwa engkau harus terus berjuang dan berkata: inilah aku, lalu engkau tak membiarkan apapun melukai mimpi-mimpi yang kau bangun, bahkan sedikitpun.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka yang Makin Dalam

15 Juni 2016   14:58 Diperbarui: 15 Juni 2016   15:10 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apakah hari ini hujan? seperti kemarin, kemarin dan kemarin. apakah dingin akan datang saat hujan, saat tempiasnya memercik ke muka. dan kulit menggigil karena di serang rasa dingin yang hebat, sebab demam berada di ujung tiap syaraf. ku lihat langit makin gelap, makin hitam. mencengkram pucuk pucuk pohon, atap atap rumah bertingkat, menara menara telepon, tiang tiang listrik. ku lihat jalanan makin lengang, anjing anjing dan kucing mencari emper emper toko bersiap siap menyambut hujan. apakah hujan akan turun? seperti kemarin, kemarin dan kemarin.

di kamar ini ada seonggok selimut, sebuah cangkir, bantal dan selapis tikar. tetapi tak kurasakan kehadiran mu yang dulu hangat menyergap leherku. menyambutku pulang. kataku mu kau inginn pergi dari sini. sebab derita seperti tak enyah enyah. kesialan tumpah tindih tak habis habis. kau katakan untuk berunding dengan wak jomin, dukun rekomendasi temanmu, yang kau katakan sakti mengusir kesialan. mungkin penderitaan ini sedikit lungsur bang, begitu bujukmu.

tetapi aku tak ingin berurusan dengan klenik. aku tak sudi berembuk dengan segala macam dukun pembual. bukankah kau tahu bahwa segala omongan dukun semata mata hanya kibulan basi yang dirancaukan demi sesuap nasi. persetan dengan dukun, kataku. kau seperti terpukul dengan kata kata terakhirku. mungkin kau menyumpahi kepala batuku, kesombonganku, dan prinsip prinsip ku yang kau anggap sesat. ku lihat di mata mu ada duka yang dalam, ada juga putus asa yang mengucur makin deras, ada pula luka yang makin berdarah.

aku ingin memelukmu sekali saja sebelum engkau pergi. 

angin berkelebat kelebat di luar. menggoyang pucuk pohon trembesi di timur. kilat mengerjap ngerjap seperti lampu disko. aku memegang ujung jarimu. kasar, seperti jalan tak beraspal. entahlah, tiba tiba ada rasa sesak yang menjalar di dada. rasa sakit yang mengiris. tanganmu yang kasar seperti menangis padaku, seperti mengabarkan padaku betapa ia telah diporsir demikian hebat. duduklah dahulu, kataku. marilah kita bicara lagi. 

engkau tak menjawab. hanya matamu yang lurus menusuk mataku. apa yang hendak kau cari di situ? tak ada apa apa lagi di situ. tak ada lagi cahaya apalagi api hebat yang bisa menghangatkanmu. yang kau temukan paling paling hanya sunyi, onggokan sampah, kebekuan, dan kesia siaan. kau masih tak bicara. tanganmu seperti melambai, lalu tiba tiba sesuatu yang panas menghentak wajahku.

plakkk! kau bukan dia yang dulu! teriakmu. lalu kau berlari menjauh, menjauh, dan hilang di balik pintu.

hujan tiba tiba menderas. airnya berjatuhan menutupi atap atap rumah. menggenangi jalan jalan dan got got di seberang jalan. aku masih terpaku, tak sempat mengatakan bahwa di samping pintu ada payung. paling tidak itu bisa melindungimu dari derasnya hujan. rasa panas bercampur perih berkelana. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun