Mohon tunggu...
wan di
wan di Mohon Tunggu... karyawan swasta -

bahwa engkau harus terus berjuang dan berkata: inilah aku, lalu engkau tak membiarkan apapun melukai mimpi-mimpi yang kau bangun, bahkan sedikitpun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puasa Kita dan Orang-orang Pinggiran

14 Juni 2016   12:48 Diperbarui: 14 Juni 2016   12:52 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

salah satu yang sering kita dengar tentang hikmah puasa adalah ikut merasakan penderitaan saudara saudara kita yang susah, miskin, melarat, tak berpunya, yang terusir, korban perang, dan yang terpinggirkan. itu adalah hikmah ideal yang sering disuarkan oleh para pengkhutbah, buku buku agama dan guru guru sekolah saya. tak salah memang, sungguh mulia tujuan berpuasa itu. apa bila tujuan mulia itu bisa menemui kenyataan mungkin saja yang terjadi sehabis puasa sebulan suntuk itu, seluruh muslim di dunia akan berubah menjadi manusia manusia peka, toleran, penuh kasih dan tentu saja tak pemboros. mungkin kemiskinan akan musnah dari dunia ini. jumlah penganggur akan hilang dan rumah rumah zakat akan kebingungan menyalurkan harta bendanya. 

apakah bisa begitu? apakah ideal itu akan mungkin jadi nyata? 

rasanya jauh panggang dari api. ideal ideal itu mungkin hanya eksis di alam mimpi. saya sendiri merasakannya bahwa puasa saya lebih condong pada kewajiban saya sebagai muslim alias semata mata tuntutan agama. miris kan? ya begitulah kenyataannya. ada kalanya saya pun berduka atas kondisi keimanan saya yang selfis begitu rupa. saya sering juga bertanya apakah keadaan saya ini juga dialami oleh muslim lainnya? rasanya begitu. 

paling mudah melihat kenyataan bahwa puasa itu tak lagi mengarah pada rasa simpati pada yang tak berpunya adalah di saat berbuka dan sahur. tengoklah lauk pauk apa saja yang terhidang di meja makan? apakah ada rendang, gulai kakap, semur daging, tongkol bumbu pedas, ditambah kurma, es klamud, es kolak, es kream, dll. dari hidangan ini kita tahu bahwa tak ada itu rasa empati apalagi upaya menahan nafsu. 

puasa justru menjadi perayaan nafsu?

mungkin saja begitu. puasa semestinya tidak melulu berarti menahan lapar, menahan nafsu di saat siang. tetapi berlanjut saat kita berhadapan dengan waktu berbuka dan sahur. yang terjadi kan justru tidak begitu. siang menahan nafsu, waktu berbuka tiba melepas nafsu sejadi jadinya. lalu dimana tempat bagi simpati terhadap orang susah? 

begitu puasa dimulai angan angan dan rencana makanan berbuka, es es yang nikmat, rencana bukber, dan tentu saja baju lebaran  muncul di kepala. lihat kan, dari awal yang kita pikirkan adalah kesenangan jasmani, kebendaan. kita memahami puasa begitu dangkal, jauh dari kedalaman. yang permukaan penting, tetapi esensinya pun jangan ditinggal. hikmah hikmah puasa yang berdimensi kepedulian sosial harus kita hayati, jalankan, dan bagikan kepada sesama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun