Sepanjang hidupku, yang ku ingat, pertama kali mengenal cinta adalah saat kelas 1 SD. Cinta yang ku pahami hanyalah sebatas bahasa intim dalam istilah pacaran. Pemahaman itu merasuk begitu saja secara alamiah dalam lingkungan pergaulan. Tanpa pernah sedikitpun mempertanyakan layakanya para filsup kontinental, "apa itu cinta ?" atau, "hakikatnya apa ?" sama sekali tidak pernah. Yang kulakukan hanya menjalani dan menikmatinya saja, mencumbu terkasih dengan untain-untaian kata dalam sepucuk surat yang selalu berhasil menggugah rasa.
Sampai masa remaja, paradigma itu masih melekat kuat. Pacaran seperti sebuah keharusan sosial dan budaya. Kalau tidak punya pacar, siap-siap kena sindir, ejek, dan hinaan dari karib-karib sepergaulan. Orang yang tidak punya pacar kemudian disebut jomblo. Jomblo adalah produk stigmatisasi sosial yang dilegitimasi sehingga menjadi narasi umum. Jomblo itu juga menjadi semacam kasta baru dalam realitas sosial yang berdampak buruk bagi kesehatan mental.
Fenomena pacaran ini mulai marak terjadi di dataran eropa pasca Perang Dunia -1. Sebelumnya, tidak ada istilah pacaran, kendati mungkin praktiknya sudah ada. Dulu itu orang tualah yang memiliki otoritas dalam menentukan pasangan untuk anaknya.
Pada februari, 2015, pernah ada sebuah gerakan  "Indonesia Tanpa Pacaran (ITP" yang di gagas oleh seorang pemuda sekaligus penulis bernama La Ode Munafar. Gerakan itu dikampanyekan secara masif di beberapa platform media sosial seperti facebook, instagram, line, dan whatsapp. Gerakan ini lahir dari keresahan-keresahan anak muda yang merasa bahwa budaya pacaran itu sangat berbahaya dan merusak. Saat dihubungi kumparan, beliau mengatakan, "Saya melihat itu (korban budaya pacaran yang rusak), sehingga saya merasa perlu ada media yang hadir menyadarkan generasi akan bahaya pacaran." Luar biasanya, gerakan tersebut berhasil mendulang dukungan banyak orang khususnya para orang tua yang berpandangan sama bahwa budaya pacaran itu tidak baik dan merusak moral.
Kemudian soal perjodohan, ada sebuah istilah yang sangat populer, yaitu "Siti Nurbaya." Siti Nurbaya adalah nama orang yang dijadikan simbol perjodohan. Selain simbol perjodohan, istilah Siti Nurbaya sering digunakan untuk mengolok-olok atau semacam satire untuk orang-orang di zaman modern yang masih di jodoh-jodohkan. Alhasil banyak anak muda yang menolak untuk dijodoh-jodohkan.
Aku pikir, perjodohan bukanlah sesuatu yang otoritatif, melainkan sebuah alternatif. Orang tua boleh merekomendasikan calon untuk anaknya, tetapi tetap anaknyalah yang berhak untuk memutuskan. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk masa depan anaknya, termasuk soal pasangan hidup. Mereka para orang tua yang baik itu akan menimbang betul bakal calon mempelai anaknya dari beberapa aspek yang menunjang kemaslahatan dalam berumah tangga (bibit, bebet, bobot).
Dalam ajaran Islam, perihal jodoh itu sangat rahasia. Tidak satupun keterangan yang secara eksplisit mengatakan bahwa jodoh ada di tangan manusia. Jodoh itu prerogatif Allah SWT. Manusia hanya berusaha, tapi Allah SWT lah yang berkehendak.
Perjodohan dalam artian alternatif tadi sebenarnya lebih baik dan berbobot ketimbang pacaran. Pasalnya banyak orang berpandangan bahwa pacaran adalah proses adaptasi dan harmonisasi sebelum sampai pada pernikahan. Sehingga saat menikah nanti sudah saling mengenal karakter satu sama lain. Mereka yang berpandangan seperti itu, tidak akan pernah tahu betapa indahnya membangun keharmonisan setelah berumah tangga. Saat satu sama lain masih dirundu malu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H